Operet Finalis Pangeran – Putri Lingkungan Hidup 2005
Saat grandfinal, finalis Pangeran dan Putri Lingkungan Hidup 2005 menyuguhkan operet. Selain membawa pesan cinta lingkungan, operet itu juga menggambarkan bahwa anak-anak tersebut begitu menghargai keragaman etnis.
Sebuah kota bernama Suka Bunting suatu hari kedatangan lima orang dari desa Tabi Ijo. Mereka adalah Tingky Wingky, Dipci, Lala, Poo dan Bejo. ”Weleh-weleh. Kutha Suka Bunting iki apik tenan, ya (Kota Suka Bunting ini bagus sekali, ya),” kata Tingky Wingky (diperankan Jane Ester Debora Anastasia Tampi dari SMPN 16 Surabaya). Perkataan Tingky itu diamini keempat rekannya.
Namun, tak lama muncullah sejoli Fifi (diperankan Christina Sandi Tjandra dari Bina Bangsa Christian School) dan Vincent (diperankan Vincent Anggawijaya dari SMPK St. Stanislaus I Surabaya). Dengan seenaknya kedua makhluk itu membuang sampah kaleng di depan Tingky Wingky dan kawan-kawannya.
Beberapa saat kemudian seorang bos (I Dewa Putu Adhika Happy Putra, SMP Petra 3) membuang limbah sembarangan. Lalu Dhika (M. Vardian Mahardhika, SMPN 1 Gresik), orang Madura, membuang bungkus permen serta Marisa dkk (Marisa Tania, Vania Santoso, dkk) membuat polusi udara dari kendaraan bermotor mereka.
Ulah mereka membuat masyarakat menderita. Penyakit menular pun berjangkit. Bahkan, Yogi (Yogi Tri Prasetyo, SMPN 1 Gresik), banci penjual koran, mengaku bokongnya panuan karena pencemaran. Ujung-ujungnya, dibentuklah Klub Tunas Hijau untuk mengelola lingkungan di kota itu agar menjadi lebih baik.
Operet itu memang sangat khas anak-anak. Lebih banyak dialog daripada narasi atau gerak. Idenya pun sangat sederhana. Demikian juga kandungan pesannya disampaikan secara lugas. Namun, dibalik itu ada satu hal menarik dari anak-anak itu. Yaitu, keragaman etnis. 29 finalis Pangeran dan Putri Lingkungan Hidup 2005 itu memang datang dari beragam etnis. Ada suku Jawa, Tionghoa, Bali, bahkan Batak. Tampilan multietnis itulah yang membuat operet itu kaya warna.
”Kami sadar perbedaan ini,” kata Christina Sandi Tjandra, salah satu pemeran. Meski demikian, anak-anak itu tak pernah memandang perbedaan itu sebagai penghalang. ”Yang penting, kami punya tujuan yang sama,” sambung Fifi, panggilan akrabnya.
Dengan bijak, Fifi yang akhirnya menyabet gelar Runner Up I Putri LH 2005 ini mengatakan, ”Kalau beda ya beda aja. Jangan disama-samakan. Tapi, itu tadi, jangan perbedaan menghalangi kebersamaan tujuan ini,” tegas gadis kelahiran 16 September 1990 itu.
Hal yang sama diungkapkan I Dewa Putu Adhika Happy Putra, yang akhirnya terpilih jadi Pangeran LH 2005. ”Sebenarnya, yang beda nggak cuma etniesnya. Tapi, individunya sudah beda, sekolahnya beda. Bahkan, proyek lingkungannya pun nggak sama,” ujarnya. Namun, semua perbedaan itu disatukan oleh rasa cinta anak-anak pada lingkungannya.
Tak heran jika mereka kompak sekali dalam menyelesaikan operet itu. Untuk diketahui, operet itu murni ide mereka. Ide ini muncul saat karantina di PPLH Trawas, 5 – 8 April lalu. Ketika itu, panitia dari Klub Tunas Hijau menugaskan anak-anak itu untuk membuat drama. ”Syaratnya, semua finalis harus ikut,” kata Sekretaris Klub Tunas Hijau Dimas Erlangga.
Akhirnya muncullah ide membuat operet lingkungan itu. ”Semua nyumbang ide,” kata Fifi. Di akhir masa karantina, tema besar skenario sudah didapat. Pekan berikutnya, anak-anak itu bertemu lagi untuk berlatih adegan. Saat itu kembali muncul ide dari masing-masing finalis sekaligus detail-detail dialog plus dialek-dialek multietnis.
Pada pertemuan ketiga, mereka sudah latihan dengan skenario lengkap. Pertemuan keempat mereka sudah merekam suara. Proses rekaman ini dilakukan pada Kamis (21/4) lalu di salah satu studio di Surabaya. ”Inilah jadinya. Walaupun sederhana, tetapi warna-warni. Yang penting, idenya orisinil dari anak-anak,” kata Dimas.