Perjalanan ke Papua – “Surga” Indonesia
Tiga orang aktivis Klub Tunas Hijau, Andi Kusmianto, Sugeng dan Mochamad Zamroni melakukan kunjungan lingkungan hidup ke propinsi paling timur Republik Indonesia, 11-15 September 2006. Kunjungan ini atas undangan dari PT. Freeport Indonesia guna menjajaki upaya pembuatan media pendidikan lingkungan hidup untuk anak-anak Papua. Berikut laporan kunjungan tersebut.
Senin, 11 September 2006
Ketika pesawat Air Fast yang membawa kami sudah berada di atas bumi Papua, terbersit pikiran kami akan segera tiba di “surga” Indonesia. Bagaimana tidak, dari udara sudah nampak jelas hutan yang sangat lebat dengan kerapatan pohon yang sangat tinggi. Apalagi setelah mendarat di Bandara Internasional Timika, dengan jelas pula hati kecil langsung berkata inilah surga pepohonan.
Dengan tingkat kerapatan pepohonan yang sangat tinggi, namun tiap pohon yang ada bisa mencapai tinggi 40 meter dari tanah. Kami pun lantas membandingkan fenomena ini dengan Surabaya, kota metropolitas terbesar kedua setelah Jakarta, tempat tinggal kami. Maklum, di Surabaya, jarang sekali pepohonan bisa mencapai tinggi lebih dari 5 meter. Karena sudah pasti akan dipangkas dengan alasan mengenai kabel listrik atau alasan lainnya.
Fenomena pohon dipangkas sudah menjadi fenomena umum yang sering ditemui di perkotaan di Indonesia. Belum lagi pohon-pohon yang dianaya dengan cara dipaku untuk memasang iklan, dibakar karena bikin kotor halaman pekarangan rumah atau yang lainnya. Maklum, Klub Tunas Hijau pernah melakukan pendataan terhadap pepohonan yang ada di Kota Surabaya pada tahun Mei – Juni 2005. Hasilnya cukup mencengangkan, lebih dari 75% pepohonan yang ada di satu kawasan dianiaya.
Kedatangan kami ke Papua untuk kali pertama ini (11 – 15 September) atas undangan dari PT. Freeport Indonesia. Tujuannya untuk melihat apa dan bagaimana PT. Freeport Indonesia melakukan usaha pertambangan tembaga di Timika, Mimika, Papua dan usaha pendukungnya. Khususnya menciptakan permainan pendidikan lingkungan hidup untuk anak-anak di Mimika khususnya dan Papua umumnya, dengan nuansa Papua. Kami datang bertiga, Andi Kusmianto – Komikus dan Karikaturis Klub Tunas Hijau, Sugeng – Direktur Pendampingan Masyarakat dan saya sendiri.
Selasa, 12 September 2006
Kegiatan hari ini adalah kesempatan pertama kami untuk bertemu dengan anak-anak dan remaja – siswa International School dan sekolah Yayasan Pendidikan Jayawijaya.Ya, pagi ini kami akan melakukan penanaman Mangrove bersama para siswa tersebut di Muara Sungai Ajkwa. Muara ini terbentuk karena adanya endapan tailing PT Freeport Indonesia beberapa tahun terakhir.
Perjalanan ke Muara Ajkwa ini cukup unik. Bisa dibilang tidak semua orang bisa menuju muara tempat penanaman Mangrove ini. Maklum, dengan motor boat saja membutuhkan waktu hingga satu jam. Apalagi jika perjalanan ditempuh dengan menggunakan perahu motor biasa. Tentunya jarak Muara Ajkwa dari pelabuhan terdekat lebih jauh daripada jarak Muara Kali Wonokromo Surabaya dari Medokan Semampir – tempat kami biasanya naik perahu menuju lokasi penanaman Mangrove di Surabaya.
Sesampainya di Muara Ajkwa, dari jarak sekitar 2 kilometer, kami sedikit terkejut ketika melihat para siswa International School yang sampai lebih dahulu di lokasi nampak begitu enjoy bermain-main ski dan berlarian di muara. Sekali lagi, muara tersebut terbentuk dari endapan lumpur tailing beberapa tahun lalu. Sementara tidak jauh dari anak-anak bule tersebut sibuk bermain, nampak sepetak tanah endapan yang sudah ditumbuhi dengan tanaman Mangrove yang nampak tumbuh subur. Tanaman Mangrove itu kini tingginya sudah mencapai 1 meter lebih. Padahal tanaman Mangrove itu baru ditanam tahun lalu oleh PT. Freeport Indonesia dengan melibatkan siswa sekolah.
Seandainya saja kondisi Muara Kali Wonokromo Surabaya kondisinya seperti Muara Sungai Ajkwa ini, tentu sudah puluhan ribu tanaman Mangrove sudah kami tanam. Maklum, di Muara Kali Wonokromo, kondisinya banyak terdapat karang. Sehingga, dibutuhkan tingkat kehati-hatian yang tinggi untuk melangkah. Kalau tidak, jangan heran kalau kaki kita banyak terdapat luka yang diakibatkan oleh karang. Berbeda dengan Muara Sungai Ajkwa, yang hanya merupakan tanah endapan lumpur tailing. Kita bisa dengan nyaman berjalan bahkan berlarian.
Sebelum melakukan penanaman Mangrove di Muara Sungai Ajkwa ini, kami sempat mengunjungi beberapa proyek penyelamatan satwa air di sekitar daerah tambang PT. Freeport Indonesia. Tentunya proyek penyelamatan satwa ini juga sekaligus untuk mengetahui dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh adanya operasi tambang PT. Freeport Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan lumpur tailing.
Dari sini saya bisa simpulkan kalau PT. Freeport Indonesia adalah perusahaan yang peduli terhadap pemulihan kualitas lingkungan hidup. Bagaimana tidak, jika saja PTFI tidak peduli lingkungan hidup, maka yang ada hanya bagaimana perusahaan tambang tembaga dan emas terbesar di dunia ini bisa meningkatkan hasil tambang dan acuh terhadap kondisi lingkungan sekitar. Tapi entah kepedulian lingkungan hidup ini dimiliki PT. Freeport Indonesia sejak kapan.
Salah satu proyek lingkungan yang patut kami acungi jempol adalah penyelamatan satwa jenis labi-labi, yang menyerupai kura-kura. Konon labi-labi adalah species endemik Papua. Untuk penyelamatan spesies ini PT. Freeport Indonesia bekerja sama dengan salah satu lembaga yang concern terhadap labi-labi dari Jogjakarta.
Selesai melakukan penanaman Mangrove di Muara Ajkwa, rombongan Tunas Hijau melanjutkan perjalanan menuju MP 21, yang merupakan kawasan Reklamasi Tailing. Kawasan ini dulunya adalah tempat pembuangan tailing, yang setelah lebih dua tahun dibiarkan kemudian dijadikan sebagai kawasan ’riset’ pertanian. Ada pembibitan tanaman endemik, kolam ikan hingga pertanian organik. Ada juga taman kupu-kupu atau tempat penangkaran kupu-kupu. Tujuannya, sebagai alternatif pemanfaatan lahan bekas pembuangan tailing ketika nanti PT. Freeport Indonesia mengakhiri operasi tambangnya.
Sekitar satu kilometer dari kawasan Reklamasi Tailing, kami lantas mengunjungi satu kawasan bekas pembuangan tailing yang dibiarkan secara alami. Di kawasan itu kini sudah nampak kembali seperti hutan belantara – seperti kondisinya semula sebelum dijadikan pembuangan tailing.
Untuk mempercepat pemulihan kondisi tanah sisa pembuangan tailing, PTFI menggunakan kotoran sapi yang dihasilkan oleh peternakan sapi di MP22. Di peternakan ini, sapi-sapi yang ada tidak untuk dimanfaatkan dagingnya, tapi lebih dimanfaatkan untuk diambil kotorannya. Untuk konsumsi daging sapi, biasanya diimport dari Darwin – Australia bagian Utara. Peternakan ini juga dijadikan alternatif pemanfaatan daerah tailing ketika nantinya PT. Freeport Indonesia mengakhiri operasi tambangnya.
Rabu, 13 September 2006
Pagi ini kami melakukan perjalanan ke kota diatas awan – sebutan untuk Tembagapura. Bagaimana tidak, hampir setiap hari, jika keluar rumah, yang ditemui hanya awan. Maklum, daerah ini berada di ketinggian lebih dari 3000 meter diatas permukaan laut. Di Tembagapura inilah sebagian besar karyawan PT. Freeport Indonesia bersama keluarganya tinggal. Semua keperluan ada di Tembagapura. Mulai bank, supermarket, lapangan tenis, kolam renang, hingga sekolah.
Ke Grassberg mungkin adalah yang paling berkesan dari sekian agenda perjalanan kami ke Papua. Maklum, Grassberg adalah tambang emas dan tembaga terbesar di dunia. Operasi tambang Grassberg dilakukan di ketinggian lebih dari 4000 meter di atas permukaan laut. Dan uniknya kawasan ini dulunya adalah daerah pedalaman Papua. Tetapi kini, dengan mobil, kita bisa dengan mudah menggapainya. Ada dua cara menuju Grasberg. Pertama dengan menggunakan Tramway atau kereta gantung dari ketinggian sekitar 3500 meter hingga sekitar 4000 meter diatas permukaan laut. Kedua, dengan menggunakan mobil. Tim kami telah mencoba keduanya.
Mendapat kesempatan mengunjungi Grassberg adalah kesempatan langka buat kami. Selain memang daerahnya yang tinggi, pedalaman, kawasan tertutup, dan hanya orang-orang khusus yang bisa mengunjunginya. Tentunya dengan undangan dari empunya – PT. Freeport Indonesia. Tapi sayang, saat kunjungan kami ke Grassberg, cuacanya tidak mendukung. Yang nampak hanya kabut tebal yang menghalangi pandangan jauh kami. Apalagi ketika kami berada di ketinggian 4.249 meter diatas permukaan laut. Seandainya cuaca cerah, maka di ketinggian tersebut kami dapat dengan jelas melihat puncak Cartens, tempat dimana satu-satunya salju es abadi di Indonesia berada.
Belum lagi, karena Grassberg puluhan ribu orang dari semua disiplin ilmu berkumpul. Mulai geologi, akuntansi, kelautan, pertanian, matematika, fisika, biologi, komunikasi, manajemen, lingkungan hidup, hukum, dan tentunya hampir semua ilmu lainnya.
Makan siang kami lakukan di salah satu restoran di ’Kota Diatas Awan’ Tembagapura. Makan siang ini menjadi sangat berkesan, karena kami sempat berdiskusi dengan Manajer Environment Johnny Prewitt dan juga konsultan PTFI dari New Orleans Phillip.
Menjadi berkesan karena kami dapat menyampaikan keinginan kami untuk kerjasama dengan PT Freeport Indonesia untuk pertukaran anak-anak dan remaja antara Papua dan Jawa Timur. Pada program ini, rencananya 5 – 10 anak-anak dan remaja Jawa Timur diberi kesempatan untuk mengunjungi PT. Freeport Indonesia dan Mimika untuk program lingkungan hidup. Selanjutnya. anak-anak dan remaja Papua dalam jumlah yang sama mengunjungi Jawa Timur untuk melakukan program lingkungan hidup. Program ini tetap difokuskan pada bagaimana anak-anak dan remaja bisa menjadi agen-agen perubahan untuk lingkungan yang lebih baik.
Sedangkan usulan kedua, menjadikan Mimika atau Timika sebagai tuan rumah Tunza International Chilcren’s Conference on the Environment (ICCE) pada 2010. ICCE adalah konferensi lingkungan hidup internasional dua tahun sekali untuk anak-anak usia 10-14 tahun. ICCE diselenggarakan oleh United Nations Environment Programme.
Keikutsertaan Klub Tunas Hijau pada ICCE sudah dimulai sejak 2004 ketika Connecticut, Amerika Serikat menjadi tuan rumah, lantas pada Agustus 2006 ketika Putrajaya, Malaysia menjadi tuan rumah. Pada Children World Summit 2005 di Aichi Jepang, juga oleh United Nations Environment Programme, anak-anak Klub Tunas Hijau juga menjadi satu-satunya delegasi dari Indonesia. Sedangkan untuk pelaksanaan ICCE pada 2008, Norwegia akan menjadi tuan rumah.
Tentunya, dengan salah satu agenda field trip pada ICCE mengunjungi Grassberg, akan menjadi pengalaman luar biasa bagi anak-anak dari seluruh dunia peserta ICCE. Dengan workshop –workshop lingkungan hidup yang erat hubungannya dengan pengelolaan lingkungan hidup berkaitan dengan tambang Grasberg.
Kamis, 14 September 2006
Perjalanan pagi ini ke Tempat Pembuangan Akhir Sampah di Kuala Kencana menjadi agenda yang paling membosankan bagi kami. Hal ini disebabkan dengan pengelolaan TPA sampah yang masih menggunakan Sanitary Landfill, dengan pemilahan sampah yang masih dalam tahapan teori.
Menurut kami, mestinya perusahaan raksasa sekelas PT. Freeport Indonesia mampu menjadikan TPA menjadi kawasan percontohan nasional bahkan internasional untuk pengelolaan sampah mandiri. Tentunya dengan pemilahan sampah sejak dari sumbernya, pengomposan dan teknologi pengolahan sampah yang benar-benar ramah lingkungan. Hal ini tentu akan meningkatkan kredibilitas PT. Freeport Indonesia sebagai perusahaan raksasa yang benar-benar berwawasan lingkungan hidup.
Diskusi dengan Kabag Lingkungan hidup Pemda Mimika menjadi penawar kebosanan kami. Mengingat pada diskusi ini usulan kami untuk mengadakan Pertukaran Anak-Anak dan Remaja Papua dan Jawa Timur untuk lingkungan hidup mendapat sambutan positif dari Pemda Mimika. Tinggal tahapan implementasi.
Maklum, sejak keberangkatan kami ke Papua ketika masih di Bandara Juanda, kami bertiga akan sangat berdosa jika tidak bisa memberikan kesempatan berkunjung yang sama kepada adik-adik didik kami di Klub Tunas Hijau. Salah satu cara dengan pertukaran anak-anak dan remaja tersebut.
Adrenalin kami pun lantas memuncak ketika kami mendapat kesempatan berkunjung ke SMP Negeri 2 Timika. Di sekolah ini kami mendapat kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan siswa salah satu kelas siang. Waktu bagi kami untuk menyebarkan ’virus-virus’ cinta lingkungan hidup dengan model ’ala Tunas Hijau’. Beberapa game dan cara pengajaran cinta lingkungan hidup pun kami sampaikan kepada siswa.
Perjalanan kami lanjutkan ke sekolah Yayasan Pendidikan Jayawijaya. Berawal dari diskusi dengan pengurus sekolah dan yayasan tentang kurikulum pendidikan yang diikuti oleh sekolah YPJ, kami pun lantas mendapat kesempatan untuk menebarkan kembali ’virus-virus’ cinta lingkungan kepada siswa. Tentunya dengan metode pengajaran ’ala Tunas Hijau’.
Sekolah Yayasan Pendidikan Jayawijaya adalah sekolah yang semua siswanya adalah putra-putri karyawan PT. Freeport Indonesia. Siswa tidak dipugut sepeser pun untuk sekolah disini. Semua kebutuhan untuk proses belajar mengajar dipenuhi oleh PT. Freeport Indonesia. Jadi, jangan heran kalau fasilitas yang ada serba wah dan berstandar sekolah internasional.
Jumat, 15 September 2006
Kami bertemu kali kedua dengan siswa-siswi International School pagi ini. Kali pertama kami bertemu mereka pada penanaman Mangrove di muara Ajkwa. Sepertinya masih ingat dalam ingatan setiap wajah siswa International School ini. Maklum, jumlah keseluruhan siswa hanya 17 orang saja. Memang semuanya anak-anak expatriate.
Berdiskusi dengan Kepala International School menjadi cukup berkesan, karena kami bisa berbagi pengalaman seputar bagaimana menjadikan anak-anak menjadi agen-agen perubahan untuk lingkungan hidup yang lebih berkualitas. Mengingat International School Kuala Kencana ini menggunakan kurikulum IB (International Baccalaurate) – kurikulum yang juga digunakan oleh Sekolah Cita Hati dan Sekolah Ciputra Surabaya, yang Klub Tunas Hijau terlibat pada program lingkungan hidupnya.