Kekeringan di Australia, Mandi Tidak Boleh Lebih 3 Menit

Seminggu sudah rombongan Tunas Hijau berada di Australia. Banyak suka dan duka yang dialami oleh 6 orang anak yang baru pertama kali pergi jauh bahkan ke luar negeri dan tanpa orang tua. Tentunya banyak juga suka dan duka yang saya alami selama mendampingi keenam anak aktivis Tunas Hijau tersebut. Namun, yang akan disampaikan pada tulisan ini tentunya yang berhubungan dengan Cross Cultural Environmental Education Exchange Australia Indonesia, yang sudah dirintis sejak tahun 1999.

Pernah suatu pagi sebelum memulai aktivitas, saat menjemput rombongan Tunas Hijau di kawasan Mosman Park, Perth, Catrina langsung marah. Bukan karena rombongan yang belum siap untuk memulai program hari itu, melainkan melihat Graha, salah seorang rombongan Tunas Hijau yang sedang mencuci piring  dan peralatan makan lainnya. Marah itu disebabkan karena cara mencuci yang tidak ramah lingkungan. Tentunya cara mencuci yang juga tidak hemat air.

Waktu itu Graha dibantu beberapa anak lainnya mencuci dengan cara kebanyakan orang Indonesia yang awam. Yaitu cara mencuci dengan menggunakan air yang keluar dari kran air tanpa ditampung lebih dahulu. Dengan cara itu, apalagi kran dibiarkan terbuka dalam takaran besar, memang air akan banyak terbuang percuma.

Seketika itu Catrina memberikan contoh cara mencuci peralatan makan yang ramah lingkungan dan hemat air. Caranya sederhana, seperti yang selama ini disosialisasikan Tunas Hijau melalui penyuluhan ke sekolah-sekolah. Yaitu, air bersih ditampung terlebih dahulu dalam sebuah baskom. Sehingga hanya paling banyak dua baskom air saja yang dipakai untuk mencuci peralatan makan tersebut.

Setelah air dalam baskom tidak dipakai, pun sebaiknya air tersebut tidak dibuang begitu saja melalui wastafel atau pipa. Air sisa cucian tersebut sebaiknya dibuang dengan disiramkan pada tanaman yang ada di pekarangan. Namun, untuk menggunakan air sisa cucian pada tanaman, sebelumnya harus digunakan sabun yang ramah lingkungan hidup. Sabun ramah lingkungan hidup tersebut dapat dengan mudah diperoleh di setiap supermarket yang ada di Perth dan Australia. Pembeli cukup melihat keterangan ramah lingkungan yang ada pada label kemasan.

Kondisi sabun ramah lingkungan ini tentunya berbeda dengan yang biasa dijumpai di Indonesia. Selama ini, di Indonesia, produsen hanya mengutamakan busa dan daya bersih dari sabun yang dihasilkan. Konsumen pun tidak banyak yang menanyakan. Paling-paling yang menjadi pemikiran sebelum membeli sabun cuci adalah hadiah, harga dan lembut di tangan. Seandainya lembut untuk lingkungan hidup sekitar menjadi tolak ukur juga mungkin pencemaran air dari limbah domestik juga bisa ditekan.

Terkait upaya penghematan air dari air sisa dapur, saya pun sempat menyampaikan pada Catrina kebiasaan di markas Tunas Hijau. Saya sampaikan, bahwa sejak markas Tunas Hijau pindah ke Semolowaru Indah T-9 Surabaya, per Agustus 2006, kami selalu menggunakan air selokan untuk menyiram tanaman yang ada di pekarangan. Hampir tidak pernah kami menyiram tanaman dengan menggunakan air yang mengalir dari kran. Hal ini tentunya tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga ramah ekonomi.

Berbicara tentang air di Perth dan Australia Barat memang cukup krusial. Maklum, perubahan iklim sepertinya telah menghampiri negara bagian terbesar di Australia tersebut. Dan mungkin juga tidak hanya di Australia Barat melainkan juga di seluruh bagian Australia.

Seperti diketahui berkurangnya freshwater adalah salah satu dari indikator terjadinya perubahan iklim. Hal ini diakibatkan sedikitnya air hujan yang terserap ke dalam tanah oleh akar-akar pohon. Padahal, selain berfungsi menyerap air hujan, akar pepohonan juga berfungsi mengeluarkan air, melalui mata air, sepanjang tahun.

Tidak heran jika di sebagian kamar mandi orang di Perth, menurut pengamatan saya, dilengkapi dengan pengukur waktu dari pasir. Melalui pengukur waktu berdurasi tiga menit itu diharapkan dapat mengingatkan mereka untuk tidak mandi dengan air mengalir melebihi 3 menit. Tentunya untuk menghemat air. Maklum, satu-satunya sumber air masyarakat Kota Perth adalah dam yang berada di luar kota. Saat itu, kondisinya air yang tersisa di dam tidak lebih dari 30 cm. Persediaan air yang tidak akan bisa digunakan dalam waktu yang cukup lama tentunya. Sedangkan mereka tidak bisa menggunakan air sungai karena air sungai adalah air asin.

Fenomena kesulitan air ini diperparah dengan tidak kunjung datangnya hujan di Perth dan Australia Barat. Saat rombongan Tunas Hijau di Australia kemarin, adalah genap dua bulan masyarakat Australia memasuki musim hujan tanpa air hujan turun dengan layaknya. Yang ada hujan hanya turun rintik-rintik dalam waktu tidak lebih 15 menit. Alhasil, persediaan air di dam terus menipis dan perkebunan pun banyak yang kekeringan, seperti yang ditemui rombongan Tunas Hijau dalam perjalanan menuju ke Margaret River.