Kebun Bunga dan Swalayan Terbesar Itu Bernama Gunung Pundak

Melewati jalan setapak yang memiliki panjang kira-kira 150 m dengan kemiringan hampir 30 derajat, Septian Yudha yang bertubuh paling gemuk dibanding teman-temannya terlihat terengah-engah. Sambil tetap berjalan perlahan dan mengatur oksigen yang masuk ke paru-parunya, siswa SMUN 7 Surabaya yang juga aktivis Young Eco People IV Tunas Hijau Club, mencoba untuk menyusul temannya yang berada di depan.

Mulai Rabu (11/7) sampai Sabtu (14/7) 10 aktivis Tunas Hijau Club melaksanakan kegiatan pendakian ke Gunung Pundak, Claket, Pacet, Mojokerto. Gunung yang memiliki ketinggian 2.200 diatas permukaan laut ini merupakan salah satu dari sekian banyak anak gunung yang ada di sekitar Gunung Welirang. Gunung ini memiliki banyak keistimewaan dan terbagi atas dua wilayah kerja. Di sisi timur adalah wilayah hutan lindung yang dikelola oleh TAHURA (Taman Hutan Raya) R. Soeryo yang saat ini dalam pemulihan lewat Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Sementara itu, sisi barat masih dalam bentuk hutan asli dengan berbagai jenis tanaman, wilayah ini dikelola oleh Perhutani BKPH  Pacet.

Dari Gunung Pundak inilah berasal sumber-sumber air yang digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Pacet, Mojokerto. Selain itu, berdasarkan pengamatan tim pendakian, Gunung Pundak dan dusun-dusun di sekitarnya memiliki potensi besar untuk digunakan sebagai sarana pendidikan lingkungan yang tidak kalah dengan pusat pendidikan lingkungan lainnya yang ada saat ini.

Pendakian dimulai dari Dusun Mligi, salah satu dusun di Desa Claket. Selama perjalanan mendaki, tim yang berjumlah 20 orang hanya diam, maklumlah semuanya harus beradaptasi dengan ketinggian dan berkonsentrasi menapaki jalur pendakian yang hanya selebar ‘pisau silet’. Lima jam perjalanan barulah sampai di puncak, segera setelah beristirahat sejenak tim berbagi tugas untuk mendirikan tenda dan memasak, karena yang namanya perut sudah tidak mau berkompromi lagi. Keinginan melihat ”sunrise” terlewat, terkalahkan oleh rasa capek selama perjalanan ke puncak gunung. Usai sarapan dan berkemas, perjalanan ”turun gunung” pun dimulai. Disinilah kisah ”kebun bunga dan swalayan terbesar” dimulai.

Sepanjang perjalanan turun, tim harus berjalan ektra hati-hati, demikian hal ini dijelaskan oleh Menjeng, aktivis Saka Wanabhakti Pacet. Hutan gunung pundak dipenuhi oleh tanaman beracun yang oleh warga setempat disebut ’pohon kemado’. Daun pohon ini menimbulkan rasa gatal dan perih, yang baru akan berangsur-angsur hilang setelah 24 jam. Hal ini dialami Rendy Setyadi, siswa SMKN 5 aktivis YEP Tunas Hijau Club. Karena kurang hati-hati wajahnya menyambar daun kemado yang menjuntai. Alhasil semalaman wajahnya terasa gatal dan perih. Namun demikian, buah pohon kemado yang berwarna putih bening dapat dimakan.

Tanaman anggrek hutan, pakis, edelweys, dan tanaman yang biasanya dijual sebagai tanaman hias di Surabaya terlihat dimana-mana. Ratusan jenis pohon yang tidak diketahui jenisnya juga ada. Berbagai jenis tanaman yang dapat dikomsumsi juga terdapat di Gunung Pundak. Rebby dari Saka Wanabhakti Pacet mengatakan bahwa tanaman-tanaman yang dapat dikonsumsi ini yang biasanya digunakan untuk survival bila perbekalan pendakian telah habis.

Antara percaya dan tidak percaya, tim Tunas Hijau meminta ditunjukkan tanaman-tanaman yang bisa dikonsumsi tersebut. Satuman misalnya, ditunjukkan tanaman perdu yang batang daunnya terasa mirip dengan permen ’nano-nano’, dan dengan cepat segera mencoba mengunyah batang daunnya. ”persis seperti permen nano-nano”, ujar Satuman. Sedangkan Septian Yudha, dan Edi Wahono dipandu oleh Menjeng sibuk mencari jamur lot dan jamur kuping yang biasanya hanya dijumpai di supermarket.

Kurang lebih satu jam perjalanan turun, barulah terlihat fungsi sesungguhnya hutan Gunung Pundak. Ini terlihat banyaknya sumber air yang keluar dari sela-sela bebatuan. Menurut keterangan teman-teman Saka Wanabhakti Pacet, ini adalah air alami yang digunakan di desa-desa yang ada di bawah Gunung Pundak. Ketika kami mencoba meminum, sungguh airnya terasa seperti air mineral dalam kemasan yang dijual di pasaran.

Aneka burung kupu-kupu banyak terlihat, menurut keterangan Menjeng masih sering dijumpai babi hutan, kera, ular dan lain sebagainya. Semakin ke bawah, hutan didominasi oleh vegetasi tanaman bambu, dan bulu yaitu sejenis beringin namun memiliki serabut akar lebih sedikit dan diameter batang lebih kecil. Antara tahun 1980 hingga 1990 terjadi kerusahan yang cukup parah khususnya jenis bambu.

Tidak hanya itu, pencurian tunas bambu yang lazim disebut ’rebung’ sangatlah tinggi. Padahal jenis bambu hanya bertunas setahun sekali pada bulan–bulan tertentu. Hal ini disebabkan batang dan tunas ’rebung’ bambu mempunyai nilai komersil yang tinggi. Baru pada tahun 2000 dikeluarkan larangan untuk mengambil hasil hutan termasuk batang dan tunas ’rebung’ bambu. Hal ini dijelaskan Mas’ud. Hingga saat ini pertumbuhan vegetasi bambu berangsur-angsur pulih, meskipun belum kembali seperti keadaan semula.