Kebiasaan Itu Mulai Terkikis

Iwan terlihat tergesa-gesa menghabiskan minumannya, sesaat setelah dia mendengar bel tanda masuk kelas berbunyi. Bukan hanya Iwan yang terlihat seperti itu, tapi juga teman-temannya yang sedang menghabiskan waktu istirahat di kantin SMA Negeri 11 Surabaya. Tidak ada yang aneh dari kejadian itu. Kalau dilihat lebih jauh, ada satu hal yang membuat perbedaan antara SMA Negeri 11 dengan sekolah SMA lain di Kota Surabaya. Perbedaan itu adalah hampir semua minuman yang diperjualbelikan di kantin sekolah mulai menggunakan gelas.

Sejak 15 Agustus 2007, SMA Negeri 11 Surabaya untuk pertama kalinya mengeluarkan kebijakan bahwa kantin sekolah dan penjual makan di luar sekolah tidak diperbolehkan menjual makanan dan minuman dengan bungkus plastik. Kebijakan ini dibuat karena sejak tanggal 1 Agustus 2007, SMA Negeri 11 Surabaya melaksanakan program ’Sekolah Peduli dan Berbudaya Lingkungan Hidup’ yang diselenggarakan oleh Klub Tunas Hijau bersama AUTO 2000 Sungkono dan Pemerintah Kota Surabaya.

Ketergantungan siswa SMA Negeri 11 Surabaya terhadap plastik sangatlah tinggi. Hal bisa terlihat sebelum berjalannya program tersebut. Setiap hari, 90 % sampah yang dihasilkan sekolah berjenis plastik. Sungguh kebiasaan yang tidak ramah lingkungan. Dalam sehari ada sekitar 700 siswa yang membeli makanan dan minuman berbungkus plastik. Dimana plastik-plastik tersebut digunakan sekali pakai. Sementara, plastik salah satu jenis sampah yang sulit terurai oleh tanah dan akan hancur dalam kurun waktu 50 tahun lebih. Bayangkan apa yang terjadi dalam 20 tahun ke depan jika semua warga sekolah SMA Negeri 11 Surabaya yang berjumlah kurang lebih 1000 orang tidak segera menghentikan kebiasaan ketergantungan terhadap plastik.

Sebelum mengikuti program lingkungan hidup ini, upaya yang dilakukan pihak SMA Negeri 11 Surabaya untuk menghindari munculnya ’gunungan sampah plastik’ adalah dengan membakarnya. Pembakaran sampah itu dilakukan setiap hari di halaman belakang sekolah. Padahal, upaya untuk mengurangi timbunan sampah dengan membakar bukanlah solusi yang tepat. Di satu sisi bisa mengurangi jumlah sampah. Di sisi lain malah menyebabkan munculnya permasalahan baru, yakni polusi udara yang berkontribusi terhadap terjadi pemanasan global dan kesehatan.

Lain sekolah, lain lagi kebijakan yang dilakukan untuk mengurangi volume sampah plastik. Seperti yang dilakukan oleh SD Negeri Kandangan III Surabaya, yang juga melaksanakan program sekolah berbudaya lingkungan hidup. SDN Kandangan III mengharuskan setiap siswa untuk membawa alat makan dan minum berupa gelas, piring dan sendok. Tujuannya ketika membeli makanan dan minuman di luar sekolah mereka bisa menggunakan alat-alat tersebut sebagai wadah makanan dan minuman tanpa harus menggunakan kantong plastik.

Upaya-upaya yang dilakukan sekolah-sekolah tersebut tidak lain sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap kondisi lingkungan yang semakin memburuk. Belum lagi permasalahan yang ditimbulkan karena semakin banyaknya jumlah sampah dan sedikit yang bisa diolah kembali.(Adetya ’black’ Firmansyah)