Sampah Organik Menghasilkan Mikroorganisme
Dengan serta merta seluruh siswa menutup hidung masing-masing ketika memasuki pekarangan rumah kompos Bratang Surabaya. Maklum, bau sampah yang menyengat mulai mereka rasakan. Tidak sedikit dari mereka, lima puluh siswa SDK Santa Theresia I Surabaya dan SMP Negeri 29 Surabaya, yang menjadikan tangannya sebagai kipas hanya untuk memberi udara segar pada hidung.
Kunjungan ke Rumah Kompos Bratang Surabaya ini diadakan oleh Tunas Hijau untuk menambah pengetahuan siswa tentang metode lain pengolahan sampah organik. Kebetulan kelima puluh siswa dari dua sekolah itu, sebelumnya, berada di Taman Flora Bratang untuk mengikuti peresmian Technopark Bratang Surabaya, yang bersebelahan dengan Rumah Kompos Bratang.
”Rumah Kompos Bratang ini mengolah sampah organik dari pasar Bratang, sebagian dari pasar Keputran dan juga dedaunan dan ranting-ranting pohon dari jalanan di Kota Surabaya,” kata Sugeng, salah satu petugas di rumah kompos yang dikelola Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya itu. ”Metode yang digunakan pun sangat umum. Cukup menumpuk dan membuatnya seperti gunungan-gunungan dan membaliknya setiap dua hari sekali,” lanjut Sugeng.
Bau yang sangat menyengat dirasakan sangat berbeda dengan pengolahan sampah yang dilakukan siswa-siswi SDK Santa Theresia I Surabaya. ”Kenapa pengolahan sampah disini sangat berbau, sementara pengolahan sampah yang kami lakukan di sekolah tidak bau sama sekali,” tanya kader Adiwiyata dan Ozone Hero Joanni Tirtowidjaja, siswa SDK Santa Theresia I Surabaya.
Perbedaan bau yang timbul ini, menurut Sugeng, karena pengolahan sampah organik di rumah kompos ini tidak menggunakan perlakuan khusus. ”Perbedaan bau tersebut bisa disebabkan jumlah sampah yang diolah di rumah kompos ini yang sangat banyak. Belum lagi, tidak ada perlakuan khusus yang dilakukan pada pengolahan sampah di sini. Sementara di sekolah kalian, saya yakin, menggunakan keranjang komposter ’Takakura’ atau metode lain dengan peruntukan jumlah sampah yang sangat sedikit,” jelas Sugeng.
Sampah organik yang diolah menjadi kompos, dengan sendirinya akan menghasilkan mikroorganisme. ”Mikroorganisme itulah yang membantu proses pembusukan sampah organik menjadi pupuk kompos. Jika tidak ada mikroorganisme pada sampah organik tersebut, maka proses pengomposan dipastikan ada yang salah,” kata Bram Azzaino, aktivis senior Tunas Hijau yang mendampingi kelima puluh siswa melakukan kunjungan ini.
Bram juga menambahkan bahwa proses pengomposan bisa dikatakan berhasil jika suhu pada sampah tersebut dirasakan hangat di atas suhu udara normal. ”Untuk mengetahui suhu hangat ini bisa dilakukan dengan mengaduk atau membolak-balik sampah organik tersebut dua sampai empat hari sekali,” kata Bram Azzaino sambil mengajak para siswa mengaduk gunungan sampah organik yang sudah berumur 2 dua minggu. (*)