Eco-Nationalism Training 2007 Pasukan Pengibar SMA Tujuh Belas Agustus & SMAN 20 Surabaya

Siaaap graaak…!! Teriakan aba-aba baris-berbaris terdengar lantang. Dalam hitungan detik, 100 orang anggota Pasukan Pengibar Bendera SMA 17 Agustus 1945 (PAPBRASTAG) dan Pasukan Pengibar Bendera SMAN 20 Surabaya (PASDALUH) telah berbaris rapi begitu turun dari truk militer yang membawa mereka sampai di Dusun Mligi, Desa Claket Kec. Pacet, Kab. Mojokerto. Selama tiga hari dua malam tanggal 30 Agustus 2007 hingga 2 September 2007, peserta gabungan dari dua sekolah ini mengikuti pendidikan & pelatihan tahunan untuk anggota baru. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, diklat yang dikemas dalam ECO-NATIONALISM TRAINING ini penuh dengan nuansa pelestarian lingkungan dan sosial masyarakat.

Kegiatan ini dilaksanakan di Dusun Ramah Lingkungan Dusun Mligi, yang menjadi binaan Tunas Hijau. “Sengaja kami pilih lokasi Dusun Mligi, supaya adik-adik dapat belajar tentang pelestarian lingkungan langsung di tempatnya,” ungkap pelatih PABRASTAG Dony Kristiawan. Ungkapan ini diamini juga oleh Tri Basuki, pelatih PASDALUH. “Kami ingin memberikan pemahaman bahwa rasa nasionalisme harus diwujudkan salah satunya dengan cinta lingkungan,” kata Tri Basuki.

Beragam kegiatan dilaksanakan dengan cara yang inovatif dan menarik. Diawali dengan materi tentang berpikir global bertindak lokal, yang disampaikan dengan menggunakan media audio visual. Melalui slide-slide fenomena lingkungan, peserta diajak untuk mengingat kembali akibat aktifitas manusia terhadap kelestarian lingkungan global.

Materi yang disampaikan Tunas Hijau dan Saka Wanabhakti BKPH Pacet ini mampu membuat peserta geleng-geleng kepala. Detha misalnya, siswi kelas X SMAN 20 Surabaya mengungkapkan bahwa hutan di kawasan yang terletak jauh dari rumahnya ternyata punya peran yang penting terhadap siklus air. Emosi peserta meledak ketika Slide Surat 2070 ditampilkan.Diiringi lagu ”Heal The World” Michael Jackson dan ”Children Cry” karya White Lion, slide ini menceritakan kondisi kehidupan di bumi pada tahun 2070 bila perilaku hidup manusia tidak ramah terhadap lingkungan.

Ketika ditanya apa yang dirasakan, Mimi, siswa kelas X SMATAG Surabaya mengatakan terkejut. ”Saya sedih karena secara tidak langsung ikut memperparah kondisi lingkungan ditempat tinggalnya. Mulai saat ini saya akan membuat kebiasaan baru untuk diri sendiri, menanam pohon, membuang sampah pada tempatnya,” kata Mimi sambil mengusap air mata dengan ujung lengan baju.

Ditemui terpisah, Saifulloh, kordinator pelaksana kegiatan mengungkapkan bahwa pelaksanaan kegiatan ini dibagi menjadi beberapa tahap. Diantaranya pemahaman pelestarian lingkungan, team work, rencana tindak lanjut. Selama kegiatan, peserta harus menerapkan hal-hal kecil yang dapat membuat lingkungan menjadi lebih baik. Misalnya memisahkan sampah organik dan non organik.

Keesokan paginya seluruh peserta bangun ketika jarum jam menunjukkan pukul 05.00 Wib. Menurut Sugianto, salah satu aktivis Tunas Hijau, pagi itu seluruh peserta berkeliling melihat aktivitas  pedesaaan. ”Peserta dibagi menjadi 6 kelompok dengan tujuan yang berbeda-beda. Diantaranya pemerahan susu sapi, pertanian organik, peternakan ayam, budidaya lobster dan lain sebagainya. Siang harinya dilanjutkan dengan observasi hutan dan sumber air dalam bentuk pendakian ke Gunung Pundak. Di Gunung Pundak peserta akan melakukan pengamatan terhadap ekosistem hutan selama perjalanan naik dan turun gunung,” kata Sugianto sebelum pemberangkatan peserta. (geng)