Tunas Hijau Ajak Sekolah-Sekolah Ciptakan Budaya Lingkungan Hidup
Surabaya memiliki ribuan SD, SMP dan SMA. Namun tidak banyak atau bahkan hanya segelintir sekolah saja yang mengenal program dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup yakni program Adipura-nya sekolah yang lebih dikenal dengan program sekolah Adiwiyata. Adiwiyata merupakan program sekolah peduli dan berbudaya lingkungan hidup. Tidak hanya bagus-bagusan sarana dan prasarana fisik sekolah, melainkan bagaimana semua warga sekolah terlibat aktif menciptakan sekolah berwawasan lingkungan hidup.
Melihat fenomena itu, Sabtu, 1 Maret 2008, di ruang multimedia SMP Negeri 16 Surabaya, Tunas Hijau bersama SMP Negeri 16 Surabaya menggelar workshop Sekolah Peduli Dan Berbudaya Lingkungan Hidup. Sebanyak 100 orang guru dan siswa dari perwakilan 30 sekolah di Surabaya menjadi peserta workshop tersebut.
Tidak seperti workshop lainnya, kali ini KTH tidak lagi menjadi pembicara atau narasumber melainkan menjadi moderator. Narasumber workshop ini berasal dari guru sekolah-sekolah di Surabaya yang dipandang sudah memiliki budaya lingkungan hidup. Mereka adalah SDN Kandangan II, SDN Kandangan III, SMP Negeri 16, SMA TRIMURTI, SMK Negeri 1 Surabaya dan SDK Santa Theresia I.
Pada workshop kali ini, KTH sengaja mengemas kegiatan ini layaknya belajar kelompok. Berbagai kiat khusus dalam merubah kondisi lingkungan sekolah diutarakan oleh narasumber. Seperti yang disajikan oleh Joko, guru lingkungan hidup dari SDK Santa Theresia I. Suka duka merubah kondisi sekolah dia ceritakan. “Memang tidak mudah merubah perilaku siswa agar peduli terhadap lingkungan. Apalagi bagi sekolah yang mengharuskan siswanya membayar SPP mahal seperti SDK Santa Theresia I Surabaya,” kata Joko.
Menurut Joko, pada awalnya banyak sekali orang tua siswa terutama yang anaknya tergabung dalam tim hijau complain pada sekolah. Banyak dari orang tua yang bertanya, “Apa tugas pak kebun? Mereka dibayar untuk apa?” Protes orang tua itu tidak membuat sekolah patah semangat. Malah membuat SDK Santa Theresia I semakin berani dalam mengeluarkan kebijakan. Salah satu kebijakannya ialah mengganti pembungkus makanan dari plastik menjadi daun pisang. Alhasil banyak sekali distributor makanan minuman ringan yang menggunakan plastik protes terhadap kebijakan tersebut.
Beda sekolah beda pula trik yang dilakukan, seperti SDN Kandangan III. Upaya yang sekolah lakukan untuk mengurangi sampah plastik tidak dilakukan dengan melarang PKL makanan minuman berdagang di sekitar sekolah. SDN Kandangan III Surabaya pun mengharuskan seluruh siswanya untuk membawa peralatan makan dan minum dari rumah. Sangsi juga diberlakukan bagi siswa yang tidak membawa denda Rp. 1.000,- atau mengambil sampah setelah jam istirahat. Hasilnya, hampir 90% sampah plastik yang berasal pembungkus makanan dan minuman telah berkurang.
Tidak hanya trik-trik mengurangi volume sampah saja yang disampaikan narasumber. Upaya membuat ciri khas sekolah juga disampaikan. SMP Negeri 16 misalnya, yang menjadikan tanaman Sansivera atau lidah mertua sebagai maskot sekolah. ”MenjadikanSansivera sebagai tanaman khas oleh SMP Negeri 16 bukan tanpa alasan. Menurut Sandra, siswa kelas 7 SMP Negeri 16, tanaman Sansivera bisa menyerap polusi dan radiasi elektromagnetik dalam ruangan. ”Sansivera juga jenis tanaman bandel, karena dapat berkembang biak di tempat yang mendapatkan sinar matahari maupun tidak. Pengembangbiakannya juga dapat dilakukan dengan stek daun maupun tunas,” kata Sandra dengan bersemangat.
Selain belajar kelompok, peserta workshop yang terdiri dari guru dan siswa juga diajak berkeliling mengamati setiap jengkal SMP Negeri 16 Surabaya. Berbagai proyek lingkungan hidup kebanggaan siswa SMP Negeri 16 Surabaya juga dapat dinikmati oleh peserta. Diantara proyek tersebut adalah budidaya bekicot, hutan sekolah, budidaya Sansivera, daur ulang kertas dan pemanfaatan tanaman obat keluarga. (adetya/roni)