Mozes Kilangin dan Bandara Internasional di Timika
Bandara Internasional Mozes Kilangin di Timika, Mimika, Papua nampak sangat modern saat rombongan Tunas Hijau turun dari pesawat Airfast dari rute terakhir penerbangan Surabaya – Makasar – Timika, Minggu (29/3). Kondisi bandara ini sangat berbeda dari tahun 2006 akhir saat rombongan Tunas Hijau kali pertama ke Timika. Pada pertengahan 2008, menteri perhubungan meresmikan Bandara Internasional Mozes Kilangin di Timika. Ada prasasti berupa ban haultruck pertambangan berdiameter lebih 3 meter. Prasasti ini untuk mengenang para pekerja dan ahli pertambangan dari 22 negara yang telah berkontribusi besar pada pertambangan tembaga dan emas PT. Freeport Indonesia di Mimika, Papua.
Nama Mozes Kilangin begitu melekat di kalangan masyarakat suku Amungme dataran tinggi Mimika terutama di Bumi Amungsa. Hingga tak heran kalau namanya diabadikan di bandara Internasional Timika. Dia memang negosiator dan penunjuk jalan yang baik bagi ekspedisi pertama Freeport di bumi Amungsa pada 1960, tulis Forbes Wilson dalam bukunya berjudul Conquest of the Copper Mountain.
Sejak Juli sampai dengan September 1960, paitua (Bapak Tua) Mozes Kilangin melakukan perjalanan panjang mendampingi tim ekspedisi Freeport yang mendaki Gunung Yelsegel Ongopsegel (Ertsberg). Ekspedisi yang dipimpin oleh Forbes Wilson ini menempuh rute Omoga menuju Belakama terus ke Tsinga Jongkogama-Waa (Mile 68 sekarang)-Osekindi-Bayulkase (mile 74 sekarang). Begitulah keterlibatan Mozes Kilangin Tenbak dalam ekspedisi Freeport 1960, walau sebenarnya kedatangannya ke Akimuga sebagai guru.
Pada 9 Agustus 1999 penulis buku bertemu di kediamannya, di kompleks Timika Indah dan dia menceritakan bagaimana mereka berjalan kaki ke gunung untuk membawa bahan-bahan batu-batuan sebanyak 30 karung sebagai contoh bagi penelitian. “Kini Freeport sudah masuk dan semua orang dapat berkat, tetapi ada juga yang tidak memperoleh apa-apa tetapi tujuan kita agar masyarakat Amungme memperoleh manfaat yang besar kalau tambang dibuka,” ujar Mozes Kilangin waktu itu. Empat hari setelah pertemuan dengan penulis tepatnya pada tanggal 14 Agustus 1999, guru Mozes kembali menghadap Sang Pencipta, atau dalam bahasa Amungme disebut Jomun Somun Nerek.
Mozes sangat gigih memperjuangkan nasib masyarakatnya di puncak gunung yang selalu diselimuti salju abadi, waktu itu. Dalam tulisannya di Majalah Triton Mart terbitan Hollandia (sekarang Jayapura) 1958, Mozes Kilangin melukiskan bagaimana keadaan sebenarnya di tempat kelahirannya dengan judul, “Antero Masih Gelap Pasang Lampu Lekas”. Artinya bahwa kondisi di wilayahnya masih sangat memprihatinkan, tidak ada pendidikan dan masyarakat menderita serta meminta perhatian dari pemerintah Nederlands Nieuw Guinea (pemerintah penjajah Belanda).
Dalam lanjutan tulisannya Mozes Kilangin menuturkan ada seorang masyarakatnya yang berdiam di Gunung Salju bernama Sailing fam Solme. Pada suatu hari Solme mengatakan, “Hai guru, Engkau punya umur sama dengan saya (engkau seusia dengan saya) tetapi engkau sudah menjadi guru”. Hal ini pula yang mendorong guru Mozes sangat antusias untuk membangun sekolah di daerah Amungme pada tahun 1955. Niatnya kembali ke daerah asalnya menguat sehingga dia menghadap pastor Cammerer untuk pindah ke kampong halamannya. Usulannya disetujui oleh Monseigneur Staverman, hingga pada 1 September 1954, Mozes Kilangin berangkat dari Epouto menuju Kokonao.
Selanjutnya mereka berjalan kaki lagi ke Koperapoka. Satu bulan kemudian Mozes tiba di Tsinga, tepatnya pada 1 Oktober 1954. Selama empat bulan pertama guru Mozes bekerja dengan penuh semangat di Lembah Tsinga. Ia memberi petunjuk, membangun permukiman penduduk yang sehat di tempat yang layak dihuni dan mengumpulkan anak-anak untuk bersekolah. Karena banyaknya murid yang ingin bersekolah, sehingga Januari 1955, guru Mozes ke Koperapoka menemui pastor untuk meminta tambahan guru baru agar meringankan beban kerjanya. Akhirnya permintaannya dikabulkan dan Pastor Coenen mengirim dua guru bantu, yakni Paulus Aika dan Johanes Aikawe.
Kemudian pastor Coenen memberikan gambaran keadaan Lembah Tsinga sebagai berikut: Mozes telah memberikan penerangan yang baik sehingga masyarakat mulai berkonsentrasi pada daerah tertentu untuk memperoleh pelajaran agama dan anak-anak mulai bersekolah. Amkayagama menjadi ibukota di daerah Tsinga. Lapangan terbang misi Katolik dibuka dan rumah-rumah guru dibangun termasuk sekolah bagi anak-anak suku Amungme.
Mozes telah menjadi Musa bagi tempat kelahirannya, urai Pastor Coenen. Dalam waktu singkat banyak orang-orang Amungme menjadi pemeluk agama Katolik. Walaupun saat itu terjadi pergumulan yang mendalam tentang kepercayaan asli suku Amungme yaitu antara Womkela dan Hai (Sorga). Hal ini diperumit lagi dengan perkawinan poligami, yaitu seorang pria beristeri satu telah berjanji tidak akan pergi berdoa selama orang yang berpoligami tidak menceraikan isteri keduanya. Pastor Coenen dan Guru Mozes merasa terdesak untuk segera memutuskan atau jalan keluar yang terbaik.
Walaupun dalam penegasannya mereka telah menjelaskan bahwa perkawinan poligami jangan terlalu cepat diputuskan dan biarlah perjalanan waktu yang akan menentukan. Bersama dengan Bestur Kokonao Arnold Mampioper, mereka berdua melakukan persiapan proyek Akimuga pada 1958. Distrik Akimuga merupakan daerah dataran rendah yang sangat cocok bagi permukiman suku Amungme yang masih tinggal di Lembah Tsinga dekat gunung bersalju. Tahap pertama Guru Mozes memerintahkan 10 orang pemuda dari setiap marga (fam) untuk berangkat ke Akimuga. Tujuan keberangkatan mereka adalah untuk membuka kebun-kebun bagi kepentingan marga termasuk para pemuda. Jika hasil kebun sudah dipanen maka klen atau fam yang lainnya bisa menyusul.
Memindahkan penduduk dari daerah asal ke tempat yang baru bukan persoalan yang mudah hingga masyarakat mengusulkan pindah saja ke Belamakama dengan beberapa argumentasi antara lain:
1. Kami hendak pergi mengikuti jaman baru, di sini masih hidup keadaan yang lama, seperti perang dan harta perang.
2. Kami hendak membuat daerah peralihan menuju ke Akimuga.
3. Kayu dan atap untuk membangun rumah telah habis di sini, maka gereja dan sekolah tidak akan kami perbaiki.
4. Kesuburan tanah di sekeliling kampung telah berkurang.
Masalah ini membuat Bestur Arnold Mampioper tak mampu berbuat banyak dan hanya mengingatkan bahwa masyarakat jangan menetap selamanya di Belamakama, sebab dokter dan pemerintah tak dapat membantu di sana. Buatlah kebun dan berusaha agar memperoleh bibit tanaman di Akimuga, tetapi jangan tinggal di sana. Pasalnya kalau terlalu cepat pindah ke daerah yang lebih rendah akan membawa banyak korban. Walaupun terjadi banyak pertentangan dalam permukiman baru di Akimuga tetapi akhirnya semua warga mau dipindahkan dan tinggal menetap di sana.
Mantan Bestur Kokonao Arnold Mampioper dalam bukunya berjudul Amungme Manusia Utama dari Nemangkawi Pegunungan Cartensz, 2000, mengakui peran Guru Mozes Kilangin Tenbak dalam ekspedisi Freeport 1960 dan juga pembukaan permukiman warga suku Amungme di wilayah Distrik Akimuga dan sekitarnya termasuk misi Katolik di sana. Mozes Killangin atau nama lengkapnya Mozes Abraham Kalmalan Kilangin Tenbak, lahir di Unganarki di daerah Diloa Lembah Besar sekitar tahun 1925 dan meninggal di Timika pada 14 Agustus 1999.
Untuk mengenang jasanya, perusahaan tambang raksasa yang berpusat di New Orleans, Amerika Serikat, Bandara Internasional di Timika diberi nama Mozes Kilangin sebagai bentuk penghargaan kepadanya. (*)