Lahan Sempit, SDN Petemon XIII Surabaya Dapat Penghargaan Sekolah Adiwiyata Nasional Dari MenLH Dan Mendiknas
Ini bukti bahwa menjadi Sekolah Peduli dan Berbudaya Lingkungan Hidup atau Sekolah Adiwiyata Nasional tidak harus sekolah yang memiliki lahan yang luas. SDN Petemon XIII Surabaya bukti nyatanya. Awal Juni 2009, sekolah yang berada di perkampungan padat kawasan Simo Sidomulyo ini mendapat penghargaan sebagai Sekolah Adiwiyata Nasional 2009 dari Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional. Penghargaan diberikan di Jakarta dan diterima langsung oleh Kepala SDN Petemon XIII Surabaya P. Harsoyo.
Lahan sekolah ini tidak lebih dari seribu meter persegi atau tepatnya 700 meter persegi. Letaknya berada di tepi sungai. Seperti halnya tipikal kebanyakan sungai di Surabaya dan kota besar lainnya di Indonesia, sungai di sebelah SDN Petemon XIII juga nampak tidak jernih dengan banyak endapan dan sampah non organik yang mengapung. Menyikapi kondisi ini, sekolah menjadikan sungai di samping sekolah ini menjadi salah satu sumber belajar lingkungan hidup. ”Siswa kami sering melakukan aktivitas sungai di samping sekolah. Aktivitasnya beragam, mulai sekadar pengamatan jenis sampah yang terdapat di sungai dan pinggirannya hingga pengamatan jenis satwa yang ada,” kata Harsoyo.
Lebih lanjut Harsoyo menjelaskan bahwa program tentang sungai di samping sekolah terus dikembangkan. ”Siswa kami khususnya tim lingkungan hidup bahkan sudah melakukan pendataan perilaku masyarakat yang tinggal di sekitar sungai. Pendataan yang dilakukan meliputi bagaimana pengolahan sampah rumah tangga yang selama ini dilakukan masyarakat sekitar sungai. Pendataan lainnya juga tentang sikap masyarakat terhadap sungai. Di tahun mendatang, kami mempunyai impian menjadikan sungai di samping sekolah menjadi jernih tanpa sampah dan endapan dan banyak ikan yang berkembang biak,” kata Harsoyo yang akhir tahun ini memasuki masa pensiun.
SDN Petemon XIII Surabaya termasuk sekolah yang memiliki banyak terobosan program lingkungan hidup. Diantara terobosan itu adalah peraturan yang mengharuskan siswa menggunakan tepak atau tempat pensil dari daur ulang plastik. ”Tempat pensil ini tidak boleh didapat dengan cara membeli. Siswa bisa membuatnya dengan bantuan orang tua di rumah. Namun, tempat pensil ini tidak diperkenankan hanya dibuat oleh orang tua saja, sementara siswa tidak ikut sama sekali dalam proses pembuatannya,” kata Harsoyo.
Setiap ruangan yang ada di sekolah juga selalu ada tanaman. Tidak hanya ruang kelas, ruang guru dan ruang kepala sekolah, ruang UKS dan kantin sekolah pun juga ada tanaman dalam pot. Jenis tanaman yang ditempatkan di setiap ruangan itu adalah jenis tanaman yang bisa tumbuh dengan sedikit atau bahkan tanpa sinar matahari. ”Sebagian besar jenis tanamannya adalah jenis Sansivera atau lidah mertua, beras kutah dan irish. Sedangkan pot tanaman yang digunakan adalah pot dari daur ulang bekas kaleng plastik cat tembok,” kata Harsoyo.
Sekolah ini tergolong aktif mengikuti kegiatan lingkungan hidup yang diselenggarakan oleh pihak lain. Pada Nopember 2007 misalnya, sekolah ini mengikuti Children Conference on Climate Change 2007 di Surabaya yang juga diikuti anak-anak dari beberapa negara. Pada Desember 2008, sekolah ini juga mengikutsertakan beberapa siswanya sebagai peserta Mini Conference on Climate Change yang diselenggarakan oleh SD Ciputra dan Tunas Hijau. Pada April 2009, sekolah ini terlibat pada program internasional, yaitu Indonesia Art Miles sebagai bagian dari program mural internasional.
Selain itu, pada awal Juni 2009, sekolah ini juga mengikutsertakan 25 orang guru dan siswanya untuk mengikuti Kampanye Anti Udara Kotor yang digelar Tunas Hijau di Taman Bungkul Surabaya pada 6 Juni 2009. Kampanye ini juga serentak dilaksanakan di 7 kota besar di Indonesia. Ketujuh kota besar itu adalah Jakarta, Medan, Denpasar, Semarang, Bandung, Makasar dan Surabaya. Pada kampanye ini mereka menghiasi diri dengan segala atribut berisi ajakan untuk mengurangi polusi udara.
Tentang model pembelajaran lingkungan hidup di sekolah, SDN Petemon XIII telah merintis pembelajaran monolitik bagi siswa kelas 4 dan 5. Setiap hari mereka juga ada 5 Menit Lingkungan Hidup untuk seluruh kelas. ”Pada 5 Menit LH setiap kelas memiliki tema berbeda dengan kelas lainnya. Misalnya kelas satu tentang tema sampah. Kelas empat tentang tema Ozon. Sedangkan kelas lima tentang pemanasan global. Untuk realisasinya, setiap guru kelas diminta menyampaikan sedikitnya satu informasi tentang tema tersebut,” kata Kepala SDN Petemon XIII Surabaya Harsoyo.
Banyak kemitraan lingkungan hidup yang dilakukan oleh SDN Petemon XIII selama setahun terakhir. Diantara kemitraan tersebut adalah dengan Tunas Hijau – kids & young people do actions for a better earth untuk pendampingan sekolah Adiwiyata. Ada kemitraan dengan SD Ciputra untuk upaya penanggulanan banjir dengan pemanfaatan biopori. Ada kemitraan dengan masyarakat sekitar untuk pengolahan sampah organik dengan keranjang komposter. Pada kemitraan dengan masyarakat ini siswa anggota tim lingkungan hidup SDN Petemon XIII Surabaya bertugas mengontrol penggunaan keranjang komposter yang telah dibagikan pada masyarakat sekitar.
Sementara itu, sekolah ini juga cukup beken dengan kelompok musiknya yang berlabel ”Ali Sordang”. Ali Sordang bukan nama seseorang. Ali Sordang adalah kependekan dari Arek Pinggir Kali Ngisore Wit Podang (Bawah Pohon Mangga). Istilah ini adalah cerminan kondisi sekolah yang berada tepat di pinggrir sungai dan di bawah Pohon Mangga yang ada di sekolah. Tidak hanya namanya yang beken, kelompok ini juga menggunakan beberapa peralatan musik yang merupakan barang bekas yang mengeluarkan bunyi.
Daur ulang sampah non organik menjadi salah satu aktivitas rutin sekolah ini. Aktivitas ini biasanya dilakukan setiap hari di bengkel kerja sekolah oleh para siswa secara bergiliran. Daur ulang yang dilakukan diantaranya pemanfaatan sedotan plastik dan sterofoam pembungkus buah menjadi bunga hias. Begitu banyaknya bunga hias yang dihasilkan, hingga taman bunga daur ulang sukses direaliasikan. Taman bunga yang terdiri dari aneka bunga daur ulang karya siswa ditempatkan di depan ruang bengkel kerja, di aula pertemuan dan ruang kepala sekolah.
Sekolah ini juga memiliki 13 Budaya Malu Lingkungan Hidup yang dibacakan setiap hari oleh seluruh siswa di kelas sebelum pelajaran dimulai. Butir-butir budaya malu itu adalah:
· Malu bila ada sampah tidak pada tempatnya
· Malu bila tidak membuang sampah pada tempat yang sesuai
· Malu bila ada tanaman yang tidak terawat
· Malu bila tidak pernah menanam pohon atau tanaman
· Malu bila tidak memilah sampah kertas, plastik dan organik
· Malu bila tidak bisa mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos
· Malu bila tidak bisa mendaur ulang sampah kertas dan plastik
· Malu bila membiarkan orang lain membuang sampah sembarangan
· Malu bila tidak membawa piring dan gelas sendiri dari rumah
· Malu bila minum dan jajan pakai kantong plastik
· Malu bila meninggalkan ruangan dengan lampu menyala
· Malu bila membiarkan air kran mengalir percuma
· Malu bila tidak punya tempat pensil daur ulang (roni)