Seandainya Lautan Pasir Bromo Ditanami Pepohonan Pelindung dan Semua Lampu Pijar di Kawasan Bromo Diganti Lampu Hemat Listrik….

Kawasan Gunung Bromo di Kabupaten Bromo tidak luputdari bahaya global yang mengancam dunia saat ini, yaitu pemanasan global. Hal ini dibuktikan dengan semakin bertambahnya suhu udara di kawasan itu khususnya pada siang hari bila dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Ungkapan ini seperti disampaikan oleh Sumiran, penjual makanan bakso keliling yang sudah 20 tahun menghuni kawasan itu.  “Kalau suhu udara pada malam hari tidak terlalu nampak ada perubahan bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun, perbedaan suhu udara pada siang hari terjadi kenaikan bila dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya,” kata Sumiran pada Tunas Hijau, Sabtu (15/8) pagi.

Dikatakan Sumiran bahwa suhu udara siang hari saat ini terasa lebih menyengat dari pada tahun-tahun sebelumnya. Penjelasan ini lantas dijawab beberapa aktivis Tunas Hijau sebagai salah satu dampak dari naiknya rata-rata suhu secara global di muka bumi. “Ini adalah salah satu tanda bahwa pemanasan global juga menghampiri kawasan wisata alam unggulan di Jawa Timur yang memiliki lautan pasir seluas 10 kilometer persegi ini,” kata aktivis senior Bram Azzaino pada beberapa aktivis Tunas Hijau lainnya di sela pembicaraan bersama Sumiran.

Menyikapi isu pemanasan global terkait dengan kawasan Gunung Bromo, Bram Azzaino menjelaskan bahwa ada beberapa langkah yang dapat dilakukan segera. Diantara langkah-langkah itu menurut Bram Azzaino adalah mengganti lampu pijar atau lampu dop atau bohlamp yang masih banyak digunakan di rumah-rumah maupun penerangan jalan di kawasan Gunung Bromo. “Mengganti lampu pijar dengan lampu hemat listrik atau TL atau jenis spiral merupakan langkah yang harus segera dilakukan. Lampu TL atau jenis spiral dan jenis lampu hemat listrik lainnya sangat sedikit mengkonsumsi listrik dengan daya terang yang lebih besar. Sedangkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan lampu hemat listrik lebih sedikit dari pada lampu pijar,” kata Bram Azzaino.

Pemilahan dan pengolahan sampah juga harus diterapkan pada semua sampah yang dihasilkan masyarakat sekitar dan pengunjung. “Bila melihat model tempat sampah yang banyak terdapat di kawasan Gunung Bromo khususnya di daerah yang banyak dikunjungi wisatawan lokal dan luar negeri, maka sampah yang sudah tertumpuk nampak terus dibakar. Begitu juga dengan sampah-sampah yang dihasilkan penduduk setempat. Padahal pembakaran sampah adalah tindakan yang dapat memperburuk pemanasan global, karena semakin banyaknya emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke udara,” kata Bram Azzaino.

Lebih lanjut dikatakan aktivis senior Tunas Hijau Mochamad Zamroni bahwa perlu dilakukan upaya untuk memanfaatkan lautan pasir yang sangat luas itu sebagai lahan tempat hidup jenis pepohonan pelindung. Menurut Zamroni, pemanfaatan lautan pasir dengan ditanami pepohonan pelindung sangat mungkin dilakukan. “Kemungkinan ini bila melihat ada pepohonan pelindung seperti cemara gunung yang tumbuh besar di lautan pasir. Bila penghutanan di lautan pasir ini dilakukan, maka identitas lautan pasir yang selama ini khas dengan kawasan Gunung Bromo, tidak akan hilang,” kata aktivis senior Tunas Hijau Mochamad Zamroni yang melakukan perjalanan eco wisata di Bromo bersama 6 mahasiswa China simpatisan Tunas Hijau dan belasan aktivis Tunas Hijau lainnya.

Sementara itu, menurut pantauan Tunas Hijau, cukup banyak pola pertanian tanaman semusim yang diterapkan pada lahan-lahan dengan kemiringan lebih dari 150. Pola pertanian tanaman semusim yang dimaksud adalah bercocok tanam dengan jenis tanaman sayur mayur. Pola pertanian tanaman jenis ini tentu saja tidak cocok diterapkan pada lahan-lahan dengan kemiringan cukup tinggi. Ini disebabkan perakaran jenis tanaman semusim sangat lemah dibandingkan dengan perakaran jenis tanaman pelindung. Akibatnya, pada saat hujan deras, erosi atau tanah longsor berpotensi terjadi di daerah-daerah dengan kemiringan tinggi itu.

Bila tanah longsor terjadi, maka kerugian tidak hanya akan dirasakan oleh masyarakat yang mengelola lahan pertanian itu. Dampaknya tentu juga dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah di bawah itu. “Ini karena longsoran tanah akan menuju ke daerah yang lebih rendah,” kata aktivis senior Tunas Hijau Bram Azzaino. Untuk mencegah terjadinya longsor pada lahan dengan kemiringan tinggi di daerah pegunungan seperti ini, penghutanan kembali menjadi suatu keharusan. “Penanaman pohon-pohon pelindung dengan perakaran yang kuat menjadi suatu keharusan untuk mencegah terjadinya tanah longsor di daerah dengan kemiringan seperti ini,” kata Bram Azzaino. (roni)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *