Pembinaan LH di SMA Negeri 5 Jember Diikuti Perwakilan Guru dan Siswa 7 Sekolah
Jember- Pembinaan lingkungan hidup yang dilakukan Tunas Hijau di sekolah mitra di Jember, SMA Negeri 5, dimanfaatkan guru utusan SMP Negeri 1 Panti Jember Sumarini untuk mendapatkan informasi tentang jenis pohon yang ideal di lahan kosong sekolah. “Lahan kosong SMP Negeri 1 Panti, Jember sangat luas. Kami ingin memanfaatkannya untuk pepohonan. Namun, kami bingung menentukan jenis pohon apa yang sebaiknya ditanam di lahan kosong sekolah itu,” tanya Sumarini yang hadir bersama seorang guru lainnya dari SMP Negeri 1 Panti, Jember.
Mendengar pertanyaan Sumarini, aktivis senior Tunas Hijau menjelaskan bahwa sangat banyak jenis pohon yang bisa ditanam di lahan yang luas seperti SMP Negeri 1 Panti, Jember. “Namun, seyogyanya jenis pohon yang ditanam adalah jenis pohon yang memiliki tajuk rindang dan efektif menyerap gas rumah kaca, khususnya karbondioksida. Alasan ini perlu diutamakan karena dampak pemanasan global semakin hari semakin buruk,” jawab Mochamad Zamroni. Trembesi lantas menjadi jenis pohon yang direkomendasikan untuk ditanam. “Pertumbuhan pohon trembesi sangat cepat,” terang Zamroni.
Pada pembinaan lingkungan hidup yang menghadirkan 2 pemuda simpatisan Tunas Hijau dari Inggris James Ogilvie dan dari Jepang Yusuke Koizumi itu juga banyak mengupas tentang Eco School. Ialah James Ogilvie yang pada pembinaan di SMA Negeri 5 Jember ini bisa membuat sekitar 20 guru dari dari 7 sekolah dan 15 siswa SMA Negeri 5 Jember menjadi penasaran dengan penerapan Eco School di Inggris. Dengan tanpa peralatan elektronik sama sekali, James menjelaskan secara detail penerapan program sekolah ramah lingkungan hidup di negaranya, Inggris.
Menurut James, hingga saat ini ada lebih dari 12.000 sekolah di Inggris yang mengikuti program Eco School. Jumlah ini lebih dari 50% jumlah keseluruhan sekolah yang ada di Inggris. “Target pemerintah Inggris, sebelum 2020 semua sekolah di Inggris sudah harus menjadi Eco School atau sekolah ramah lingkungan hidup. “Caranya dengan memberikan beberapa kemudahan dan pernghargaan bagi sekolah-sekolah yang berhasil menjadi Eco School. Diantaranya pengembangan sekolah, publikasi dan pengembangan kurikulum sekolah,” kata James.
James lantas menjelaskan bahwa semua sekolah bisa menjadi Eco School termasuk sekolah-sekolah di Indonesia. Langkah pertama, menurut James, adalah membentuk tim aksi yang terdiri dari perwakilan siswa, guru, orang tua dan beberapa stakeholders sekolah itu. Tim aksi ini selanjutnya melakukan review kondisi lingkungan hidup di sekolahnya. “Pada review ini, tim sebaiknya secara detail membuat kesimpulan kondisi lingkungan hidup yang sudah baik dan yang masih buruk. Dari hasil inilah tim aksi merumuskan langkah yang harus ditempuh,” kata James.
Ditambahkan bahwa tim aksi harus juga merumuskan langkah-langkah untuk melibatkan seluruh warga sekolah. Langkah itu bisa dengan meminta seluruh warga sekolah untuk menerapkan perilaku ramah lingkungan hidup yang sederhana tapi nyata. “Misalnya semua warga sekolah harus selalu membuang sampah pada tempatnya. Bisa juga semua warga sekolah terlibat pada pemeliharaan tanaman yang ada di sekolah juga upaya pengomposan. Warga sekolah juga diharuskan selalu menerapkan upaya hemat air dan listrik,” terang James. Monitoring dan evaluasi juga harus dilakukan.
Menanggapi penjelasan James, Mochamad Zamroni menambahkan bahwa ada satu hal yang sangat esensial untuk menjamin bahwa langkah-langkah yang disarankan James bisa terus terlaksana. Hal yang sangat esensial itu adalah kebijakan tertulis tentang arah pendidikan di sekolah pada kepedulian lingkungan hidup yang perlu ditetapkan secara tertulis oleh pimpinan sekolah. Sementara itu, Yusuke Koizumi memanfaatkan kesempatan itu untuk menjelaskan beberapa kegiatan lingkungan hidup yang biasa diterapkan sekolah-sekolah di Jepang. (ron)