Indikator Lingkungan Hidup Dan Tim Tanggap
Surabaya- Pengembangan diri lingkungan hidup siswa SMP Negeri 25 Surabaya dilakukan di Mushola skolah, Sabtu (20/3) pagi. Di mushola tersebut selain sejuk, mereka tidak perlu menggunakan lampu untuk penerangan. Jadi disana mereka tidak perlu menggunakan peralatan listrik untuk beraktivitas yang waktu itu merupakan sesi diskusi. Sesi ini diawali dengan memberikan kesempatan kepada 3 siswa SMPN 25 yang pekan sebelumnya mengikuti pelatihan lingkungan hidup 2 hari di Seloliman, Trawas, Mojokerto.
Disampaikan Rossi dan Tita bahwa pada pelatihan lingkungan hidup pekan lalu diikuti oleh lebih 100 siswa dari sekitar 40 SMP di Surabaya. “Pada pelatihan itu, setiap perwakilan sekolah diminta mempresentasikan kondisi lingkungan hidup sekolah masing-masing. Program-program lingkungan hidup yang telah dilakukan dan yang akan dilakukan di sekolah juga diminta untuk dipresentasikan. Pada sesi ini, kami merasa bangga karena bisa memberi tahu seluruh peserta bahwa banyak program lingkungan hidup yang telah dilakukan oleh SMP Negeri 25 Surabaya,” kata Rossi dan Tita secara bergantian.
Rossi dan Tita juga menjelaskan tentang beberapa indikator untuk mengetahui lingkungan hidup tercemar atau tidak. Indikator itu diantaranya adalah pepohonan yang ada atau satwa tak bertulang belakang seperti capung. “Di perkotaan seperti Surabaya yang identik dengan tingginya tingkat polusi udara, batang pepohonan pelindung sering kali nampak cerah. Sedangkan di pedesaan atau pegunungan yang rendah tingkat polusi udaranya, batang pepohonannya seringkali nampak seperti berpanu atau banyak bercak putihnya. Panu atau bercak putih pada batang pepohonan itu merupakan salah satu indikator bahwa udara di sekitar pepohonan itu bersih atau tidak tercemar,” kata Rossi.
Sementara itu, capung atau kotrik juga bisa menjadi indikator udara di suatu kawasan. Bila ada capung terlebih jenis jarum, maka udara di kawasan itu sangat bersih atau tidak tercemar. Sedangkan untuk indikator saluran air atau sungai yang bersih diantaranya ada beberapa jenis ikan yang hidup. “Saluran air atau sungai yang bersih juga bisa dilihat dari adanya beberapa jenis serangga yang hidup, terlebih hewan jenis kepiting. Bila tidak ada satwa khususnya serangga air sama sekali, maka saluran air atau sungai itu tercemar,” tambah Rossi.
Setelah sesi berbagi pengalaman itu, mereka diminta membentuk tiga kelompok. Kelompok tersebut ditugasi meneliti berbagai macam, antara lain tentang tumbuhan atau pohon yang ada di sekolah, energi yang digunakan setiap hari, dan sampah yang dihasilkan di sekolah. Ketiga kelompok tersebut lantas diminta mengamati seluruh sudut sekolah. Berbagai fenomena pun mereka temukan. Diantaranya ada pegawai sekolah yang membakar sampah daun. Fenomena ini direspon Dirgo, siswa kelas 7, dengan mematikan api dan menasehati pegawai tersebut untuk tidak membakar sampah lagi. “Sampah daun sebaiknya dikompos,” kata Dirgo.
Sedangkan kelompok energi menemukan beberapa kelas yang kipas anginnya masih menyala. Padahal kelas tersebut sudah kosong. Tim energi pun mematikan peralatan listrik tersebut. Kegiatan tanggap masalah ini diharapkan bisa dilaksanakan dalam kegiatan mereka sehari-hari. “Dengan tanggap masalah, kalian berarti ikut peduli dengan lingkungan hidup melalui aksi-aksi nyata,” kata aktivis Tunas Hijau Narendra yang menjadi pemandu pengembangan diri lingkungan hidup di SMP Negeri 25 Surabaya. (ren/ron)