Peserta ICC Observasi Hutan, Sungai dan Ekosistem Sawah

Komono- Setelah melakukan penanaman bibit pohon, seluruh peserta Internasional Children’s Conference on Biodiversity 2010 Nagoya-Aichi melanjutkan perjalanan menuju hutan terdekat, Rabu (21/10). Kawasan hutan yang dituju adalah kawasan yang terdapat dua macam hutan, yaitu hutan alami dan hutan buatan. Kawasan ini berada tidak jauh dari lokasi penanaman pohon. Hanya sekitar 5 menit dengan menggunakan mobil atau bus. Tepatnya Kirihata ward, Komono village.

Program di hutan dimulai dengan melakukan observasi atau pengamatan jenis-jenis pohon yang hidup di hutan alami. Cameliajaponica adalah jenis pohon yang hidup secara alami di hutan ini. Banyak juga jenis pohon lainnya yang hidup secara alami di hutan alami ini. Tinggi pepohonan yang hidup di hutan alami sangat variatif. Ada yang tingginya masih 1 meter, ada juga yang bahkan tingginya mencapai 8 meter. Sinar matahari juga nampak bisa menembus dedaunan pohon hingga mencapai tanah. Semua hasil observasi mereka tulis di lembaran kegiatan yang disediakan panitia.

Setelah beraktivitas di hutan alami, peserta (grup 3, Asia dan Oceania) melanjutkan kegiatan di hutan buatan, yang bersebelahan dengan hutan alami. Sangat nampak perbedaan antara hutan alami dan hutan buatan. Hutan buatan sengaja dibuat manusia untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Diantaranya untuk diambil kayu untuk perumahan atau kayu bakar. Pepohonan yang tumbuh di hutan buatan juga tidak beragam. Di Kirihata ward itu, hanya jenis pepohonan Cypress atau sejenis pinus yang tumbuh. Nampak teratur letak pepohonan di hutan buatan ini. Tinggi pepohonannya juga sama. Tidak nampak ada tanaman jenis lain yang tumbuh diantara pepohonan Cypress, penyebabnya sinar matahari tidak bisa menembus dedaunan pepohonan ini.

Selesai berkegiatan di hutan, kelompok 3 melanjutkan kegiatan di sungai yang mengalir di dekat hutan itu. Kegiatan di sungai ini juga membuat seluruh peserta konferensi aktif. Masing-masing peserta dilengkapi dengan jala tangan. Jala itu digunakan untuk menangkap satwa yang nampak hidup di sungai yang mengalir dengan cukup deras itu. “Salah satu ciri air sungai itu tidak tercemar adalah airnya mengalir dan banyak hidup beberapa jenis satwa. Diantaranya ikan, capung, cacing dan sejenis kepiting,” ungkap Mumtaza Noor Ashila, runner up puteri lingkungan hidup 2008 Malang, menceritakan kembali penjelasan instruktur dari Jepang. Banyak dari satwa air tersebut tidak nampak oleh mata, maksudnya banyak jenis satwa itu yang baru diketahui keberadaannya dengan membuka bebatuan sungai.

Kegiatan selanjutnya adalah pengamatan keanekaragaman hayati di ekosistem sawah dan sekitarnya. Di kegiatan ini, setiap peserta juga diminta aktif bergerak. Masing-masing peserta juga dilengkapi dengan jala tangan. Bedanya dengan kegiatan di sungai, jala ini digunakan untuk menangkap satwa yang hidup di ekosistem sawah. “Kelompok saya berhasil mendapat beberapa jenis laba-laba, katak dan walang di sawah padi yang telah dipanen ini,” ungkap Nyimas Salsabila Rahma, runner up puteri lingkungan hidup 2009 Surabaya. Tentang ekosistem sawah ini tergolong unik dan khas, karena bersebelahan dengan hutan buatan dan aliran sungai.

Kearifan lokal masyarakat Jepang juga bisa dengan mudah selama kegiatan ini. Diantaranya bagaimana masyarakat setempat memanfaatkan dengan bijaksana air yang mengalir dari pegunungan. Aliran air ini tergolong cukup deras melewati saluran air yang ada. Seringkali aliran itu membawa serta pasir pegunungan yang keberadaannya bisa mengganggu pertumbuhan padi di sawah. Arifnya masyarakat setempat menyikapi hal ini adalah dengan memperlambat aliran air dengan kolam penampungan yang dilengkapi dengan kincir air mini. Ada juga kearifan lokal tentang bagaimana memperlakukan hutan yang didalamnya mereka bangun kuil untuk peribadatan. (roni)     

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *