Kali Gendol Yang Menjadi Jalur Luncuran

Jogjakarta- Kami merasa sangat beruntung ketika bertemu dengan kawan lama kami, Lentho. Mas Lentho, begitu biasa kami memanggilnya, pemuda yang tergabung ini dalam Palem (pencinta alam lereng Merapi) setengah berlari menghampiri kami. Sejurus kemudian diantara kami sudah saling berjabat tangan hangat dengan saling bertanya kondisi kabar masing-masing. Lewat Lentho inilah kami memperoleh penjelasan yang mendetail tentang kondisi perekonomian, pendidikan, dan lain-lain.

Lentho menjelaskan bahwa hingga saat ini seluruh kebutuhan logistik bagi korban bencana bergantung seratus persen pada bantuan kemanusiaan. Perekonomian masyarakat bisa dikatakan berhenti total. Kondisi ini setali tiga uang dengan aktifitas belajar mengajar, aktifitas pendidikan praktis lumpuh total karena sekolah-sekolah yang ada juga telah musnah.  Ketika kami tanya tentang hal paling mendesakyang dibutuhkan oleh anak-anak, dengan cepat Lentho menjawab, ”Anak-anak membutuhkan aktifitas untuk menyibukkan diri. Banyak pihak berpikiran bahwa kebutuhan logistik adalah penting. Namun kebutuhan pendampingan aktifitas bagi anak-anak juga tidak kalah penting.”

Lentho menyarankan dan berharap pada Tunas Hijau untuk datang kembali ke posko ini dengan berbagai kegiatan lingkungan yang menyenangkan buat anak-anak. Dirinya mencontohkan kegiatan permainan ular tangga lingkungan raksasa pada saat diklat mahasiswa D3 kehutanan UGM yang digelar beberapa waktu lalu, sebelum letusan di dusun Turgo, Kinahharjo akan sangat bermanfaat jika digelar di posko ini.

Usai bercakap-cakap, Lentho mengajak kami untuk melihat Kali Gendol yang menjadi jalur luncuran awan panas. Tak sampai dua puluh menit berjalan kaki menanjak, kami menemui sebuah gapura dusun, dusun Kepuh namanya. Selepas gapura tersebut, kami sungguh melihat pemandangan yang sangat mencengangkan. Apa yang disebut-sebut sebagai dusun itu sudah tidak berbekas lagi. Yang terlihat hanya bekas jalan desa yang di lapisi beton. Selebihnya tidak ada apa-apanya lagi.

Puluhan dusun di sepanjang aliran Kali Gendol dan jalur luncuran lava dan awan panas juga bernasib serupa, musnah atau tinggal separuhnya. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya hamparan material vulkanis. Batu-batu sebesar markas kami di Surabaya terlihat disana-sini bercampur dengan pohon-pohon tumbang hangus terbakar yang berserakan. Di sisi paling luar terlihat jelas batasan antara pepohonan yang masih menghijau dengan pepohonan yang telah hangus terbakar karena luncuran awan panas.

Kami meneruskan berjalan semakin ke tengah menuju aliran Kali Gendol. Di kali tersebut, tidak terlihat lagi aliran air. Di banyak tempat masih terlihat mengeluarkan asap dari dalam tanah. Ketika kami tanyakan tentang hal ini, Lentho mengungkapkan bahwa semenjak letusan pertama, jalur Kali Gendol telah ‘dihajar’ beberapa kali oleh Gunung Merapi. Guguran lava pijar dengan suhu mencapai ribuan derajat memenuhi jalur Kali Gendol disertai dengan luncuran awan panas ‘wedhus gembel’ yang mencapai lebar lebih dari lima kilometer.

Luncuran awan panas ini mampu mencapai kecepatan 300 Km/jam dengan suhu 1.100 derajat celcius meluncur ke bawah hingga radius dua puluh kilometer. Luncuran awan panas ini mampu memusnahkan segala yang ada di jalurnya. Tidak hanya itu saja, tebaran material vulkanis seakan dicuci dan dilarutkan kedalam Kali Gendol oleh hujan yang turun selama proses erupsi yang menciptakan aliran lahar dingin. Lahar dingin inilah yang memenuhi KaliGendol hingga mampu menciptakan daerah endapan setebal 40 meter yang mampu mengubur dusun–dusun di sepanjang alirannya.

Guguran dan lelehan lava pijar yang belum dingin sempurna dan selanjutnya tertutupi oleh material vulkanis lahar dingin, menciptakan lapisan tanah dengan suhu yang berbeda. Dipermukaan suhu material vulkanis suhu sudah mencapai rata- rata antara 27-36 derajat celcius. Namun bila digali satu atau dua meter, suhu akan meningkat drastis hingga 400 derajat celcius dan semakin tinggi bila semakin dalam.

Menurut Lentho, Kali Gendol adalah kali mati yang menjadi semacam saluran peletusan Gunung Merapi. Aliran sungai hanya akan terlihat bila hujan turun di sekitar Gunung Merapi. Kondisi ini hampir menyerupai skala kecil daerah endapan dimodifikasi (modified deposit area/ModADA) satu daerah yang ditetapkan dan digunakan PT. Freeport sebagai area pengendapan pasir sisa tambang yang lazim disebut tailing.

Lelah berkeliling kami memutuskan kembali ke posko pengungsi Kepuh Harjo dengan membawa perasaan yang tak karuan. Pukul 13.30 melalui telepon seluler, dr. Prita memberitahukan bahwa rombongan dari Malang langsung kembali ke mess prajurit. Kami diharapakan segera menyusul turun untuk makan siang. Kami mengucapkan terimakasih kepada Lentho yang bersedia menemani dan memberikan informasi kepada kami. Hal mengharukan tak terlupakan adalah lambaian tangan para pengungsi yang rata-rata sudah menginjak tua tatkala truk yang kami tumpangi mulai meninggalkan halaman posko pengungsi Kepuhharjo.

Sambil terus melambaikan tangan, dalam hati kami berdoa, semoga semua korban letusanGunung Merapi diberikan ketabahan, kekuatan dan kesabaran berlebih. Semoga segala terbaik selalu bersama mereka. Semoga semakin banyak dermawan-dermawan yang terketuk hatinya untuk rela menyisihkan rejeki bagi para pengungsi. Kami yakin di balik semua bencana alam yang ditimpakan, Allah SWT telah menyiapkan  anugerah  terbaik bagi mereka. (Sugeng/ron)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *