Rebutan Binoculars Di Hutan Mangrove Hingga Menjelajah Tambak Berlumpur
Surabaya- Dengan menggunakan teropong (binoculars), pandangan teliti Variell Tertia Kosasih berusaha untuk menemukan berbagai satwa yang hinggap di pucuk-pucukpepohonan bakau (mangrove) di kawasan Sewedi, Jumat (18/3). Dalam hitungan menit, wajah seriusnya mendadak berubah menjadi gembira saat binoculars yang dipegang mampu menangkap obyek burung kunthul yang sedang hinggap.
Setengah berteriak, Variell memamerkan obyek temuannya kepada teman-temannya. Kontan saja, satu binoculars menjadi rebutan diantara siswa lainnya. Pemandangan ini terlihat saat tujuh siswa SD Ciputra yang tergabung dalam kelompok satwa langka hutanmangrove dan kelompok abrasi pantai melakukan observasi hutan mangrove dan pembenihan pohon mangrove bersama Tunas Hijau di kawasan pantai Sewedi, kecamatanKenjeran dan pantai Nambangan kecamatan Bulak.
Tidak hanya melakukan pengamatan berbagai macam burung pantai saja, berbagai macam jenis hewan yang hidup di dalam tanah juga menjadi sasaran observasi mereka. Dengan dipandu oleh aktivis Tunas Hijau Dony Kristiawan, anak-anak ini diajak untuk mengenali sebanyak mungkin makhluk hidup yang bergantung pada keberadaan hutan mangrove/bakau.
Dony menjelaskan kepada mereka bahwa hutan bakau mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai pendukung keseimbangan ekosistem pantai. Puluhan bahkan ratusan jenis kerang-kerangan, cacing, kepiting, ikan hidup dan berkembang biak dengan baik di dalam kawasan hutan mangrove. Hewan-hewan kecil yang bergantung pada hutan mangrove ini menjadi pemasok makanan bagi hewan laut lain seperti ikan dan burung.
Selain menjadi rumah bagi aneka jenis binatang, Dony juga menjelaskan bahwa hutan mangrove menjadi penahan abrasi (erosi)pantai yang disebabkan oleh hantaman gelombang laut. Hal ini di buktikan Dony dengan menunjukkan lokasi tempat mereka berdiri yang berada dalam hutan bakau. Di lokasi ini air pasang yang mulai meninggi belum menutupi semua permukaan tanah, sementara di lokasi yang tidak ditumbuhi bakau, air pasang sudah mencapai batas batu penahan di bibir pantai. “Ini adalah salah satu bukti nyata kemampuan akar-akar pepohonan bakau menahan lapisan tanah agar tidak terseret gelombang laut,” kata Dony Kristiawan yang didampingi aktivis senior Tunas Hijau Sugeng.
Selain hutan bakau, kelompok peneliti lingkungan cilik ini juga menggali banyak informasi tentang usaha pengembangbiakan bibit pohon bakau yang berlokasi di kawasan pantai Nambangan. Usaha pengembangbiakan bibit bakau ini milik Saman, satu-satunya petanimangrove di Surabaya utara. Meskipun untuk mencapai area persemaian bibit bakau harus melewati tanah berlumpur hingga selutut, ditambah terik matahari pesisir mendekati tengah hari, anak-anak ini tetap mencoba beradaptasi dan terlihat sangat bersemangat. Mereka bahkan tidak peduli lagi dengan kulit wajah dan kaki mereka yangmemerah tersengat matahari.
Di tengah area persemaian ribuanbibit bakau jenis tinjang inilah,Salman menjelaskan secara rincicara pembibitan pohon bakau yang memiliki nama ilmiah riizophora, suku Rhizophoraceae. Menurut penjelasan Saman, di Indonesia,pohon bakau memiliki jenis yang beragam. “Jenis bakau tinjang inilah yang memiliki keunggulan paling besar jika dibandingkan jenis bakau yang lainnya. Bakau jenis ini memiliki ciri-ciri yang menyolok berupa akar tunjang yang besar dan berkayu, pucuk yang tertutup daun penumpu yang meruncing, dan buah yang berkecambah serta berakar ketika masih di pohon (vivipar),” kata Salman.
Dalam penjelasannya, Saman juga mengungkapkan bahwa bibit pohon bakau siap tanam adalah bibit yang telah tumbuh hingga tiga helai daun, dan waktu penanaman terbaik adalah di Februari hingga Juli karena pada bulan-bulan tersebut gelombang laut relatif kecil. Beberapa pertanyaan ‘berkelas’ juga terlontar dari anak-anak. Monica Hartono misalnya, menanyakan motivasi Salman menekuni usaha penyemaian bibit pohon bakau dan kendalanya. Mendapat pertanyaan tersebut Salman menjawab bahwa salah satu hal yang mendorong dirinya menekuni penyemaian bibit bakau adalah kepeduliannya pada kelestarian hutan bakau di Surabaya.
Salman juga mengungkapkan bahwa kebanyakan bibit pohon bakau yang ditanam di Surabaya justru berasal dari luar kota Surabaya, misalnya Sidoarjo, Pasuruan, Tuban dan Situbondo. Padahal, pantai Surabaya memiiliki karakter tanah yang khas, berkadar garam tinggi dan berlumpur pekat. Sementara itu bibit pohon bakau juga memiliki sifat yang rentan terhadap perubahan stuktur tanah. Yang terjadi, bibit bakau yang berasal dari daerah lain mempunyai tingkat stress tinggi yang berdampak pada gagal tumbuhnya bibit tersebut.
Hal lain yang mendasari usaha yang dilakukan Salman adalah peluang ekonomi. Dengan menanam bibit bakau, dirinya mampu membuka peluang pekerjaan bagi banyak orang di sekitar. Selain itu juga hasil penjualan bibit bakau juga cukup untuk menambah penghasilan keluarga selain membuka warung lesehan di pinggir pantai. Beberapa kendala juga diungkap Salman, diantaranya tentang pasokan bibit mangrove. Bibit mangrove yang disemainya berasal dari pengepul yang ada di pesisir Pasuruan.
“Jauhnya lokasi asal bibit mangrove yang berbentuk seperti sayur kacang panjang inilah yang membuat biaya pembibitan menjadi tinggi,” kata Salman. Sementara itu, bakau jenis tinjang berbuah hanya pada bulan-bulan tertentu, otomatis usaha pembibitan Salman tidak dapat dilakukan sepanjang tahun. (geng)