Global Warming Pada Panasonic Eco Kideas Siswa SDN Kebraon II
Surabaya- Waktu masih menunjukkan pukul 07.30 WIB, namun cuaca di kota Surabaya sudah terasa cukup hangat. Fenomena ini yang diangkat oleh aktivis senior Tunas Hijau Bram Azzaino saat pembelajaran lingkungan hidup Panasonic Eco Kideas bersama Tunas Hijau di SDN Kebraon II, Selasa (30/10).
Berbagai kejadian diungkapkan di depan 70 siswa kelas 5 tentang dampak-dampak dari pemanasan global yang terjadi di seluruh bagian bumi. “Semua ini terjadi karena ulah kita seperti enggan memilah sampah dan mengolah sampah dan tidak menghemat penggunaan listrik,” jelas Bram. “Tapi yang jelas, penyebab utamanya adalah karena semakin banyaknya gas rumah kaca diproduksi yang akhirnya menyebabkan pemanasan global,” tambahnya.
Usai mendengarkan penjelasan Bram, siswa diajak mencari permasalahan yang terjadi untuk mengurangi dampak pemanasan global dari sekolah. Dewi Mellyna dan Brilian Febrianie, keduanya siswa SDN Kebraon II tertantang untuk kampanye on the spot tentang pemilahan sampah setelah sebelumnnya dijanjikan oleh Tunas Hijau akan mentraktrir mereka di kantin sekolah bila berhasil melewati tantangan yang diberikan.
Kedua siswi kelas 5A itu pun akhirnya memberanikan diri untuk kampanye di kelas 6. Sambil membawa satu lembar daun setengah kering dan gelas plastik yang masih basah, dengan suara yang tidak terlalu keras, mereka dengan percaya diri menjelaskan tentang sampah yang mereka kumpulkan. “Jadi kalau mau buang sampah harus dipisah dahulu antara sampah basah dan sampah kering. Daun ini masuk sampah basah dan gelas plastik ini masuk sampah kering,” tutur Dewi.
“Daun ini meski setengah kering tapi masuk sampah basah karena mudah membusuk. Sedangkan gelas ini walaupun basah tapi masuk sampah kering karena tidak dapat membusuk. Air yang masih tersisa di dalam gelas ini sebaiknya disiramkan ke tanaman, yang berarti kita melakukan penghematan air. Jangan dibuang ke selokan,” imbuh Brilian.
Kelompok lainnya pun tak kalah sibuk mendata kondisi lingkungan sekolah. Seperti kelompok tanaman, mereka mendata jumlah tanaman yang ditanam dalam pot berikut kondisinya. Meskipun banyak tanamannya, tidak sedikit pula pot tanaman yang didapati penuh banyak sampah plastiknya. Begitu pula dengan kelompok energi, yang menjelaskan bahwa AC di ruang perpustakaan selalu dinyalakan namun pintu sering tidak ditutup.
Dari penuturan guru pembina lingkungan yang biasa dipanggil Bu Nur, bahwa sekolah sudah sering berupaya mengurangi sampah namun tidak pernah berjalan lama. “Siswa sudah diminta untuk membawa bekal dan tempat minuman sendiri dan itupun tidak berjalan lama. Seperti tempat minuman, ketika airnya habis siswa kembali membeli minuman dari kantin dengan bungkus plastik,” terang Nur kepada Tunas Hijau.
Ketika kembali diskusi dengan siswa, terungkap bahwa siswa sebenarnya ingin melakukan pemilahan sampah namun terkendala dengan fasilitas. Setiap kelas hanya kebagian satu tempat sampah sehingga sulit untuk memilah. Kalaupun mau tempat sampah yang tersedia letaknya cukup jauh. Siswa pun sepakat untuk menggabungkan tempat sampah dari kelas yang bersebelahan sehingga tersedia tempat sampah yang memadai untuk pemilhan. (ram)