Ajak Kader Lingkungan SMPN 12 Isi 100 Lubang Resapan Biopori Dengan Sampah Organik

Surabaya- Program lingkungan Pusa Lima (pungut sampah lima menit) menjadi program pembiasaan siswa yang dilakukan setelah jam istirahat selesai. Program tersebut mengawali pembinaan lingkungan hidup yang diselenggarakan Tunas Hijau di SMPN 12, Selasa (22/01).  Dengan melibatkan sedikitnya 60 orang siswa kader lingkungan, Tunas Hijau mengajak mereka untuk mengetahui fakta lingkungan yang sedang terjadi di dunia. 

Siswa peserta pembinaan lingkungan hidup SMPN 12 Surabaya mengisi lubang resapan biopori dengan sampah organik

Diantaranya seperti yang disebutkan oleh Tasyah Zahirrah, siswa kelas 7, bahwa salah satu fakta lingkungan yang dia tahu adalah hujan es di negara Arab dan bencana banjir air bah di Jakarta.”Kalau fakta lingkungan di negara Arab tersebut saya tahunya dari tayangan TV, begitu juga banjir di Jakarta,” ujar Tasyah kepada Tunas Hijau.

Dalam pembinaan ini, Tunas Hijau mengajak mereka untuk melakukan upaya kecil mengurangi dampak dari perubahan iklim. Diantaranya dengan melakukan tindakan nyata melalui program lingkungan yang sudah dibuat oleh sekolah. Salah satunya adalah pembuatan lubang resapan biopori. Sekolah yang terletak di kawasan Ngagel ini memiliki 100 lubang resapan biopori. Uniknya, keseratus lubang resapan ini dibiarkan kosong tidak diisi dengan sampah organik semua.

Menurut Amelia Azzahra Putri, salah satu siswa kader lingkungan, dirinya bersama teman-temannya tidak mengetahui kalau ternyata lubang resapan biopori tersebut harus diisi dengan sampah organik. ”Saya tidak tahu kalau lubang biopori tersebut harus diisi dengan sampah organik, makanya kami tenang-tenang saja. Bahkan ada lubang biopori yang sudah tertutup tanah lagi,” ujar Amelia Azzahra, siswa kelas 7H.

Siswa SMPN 12 Surabaya mengecek pemilahan sampah di sekolah

Anggriyan, aktivis Tunas Hijau, menjelaskan alasan lubang biopori harus diisi dengan sampah organik. “Kalau lubang biopori tersebut tidak diisi dengan sampah organik, bagaimana bisa menyerap atau menangkap air hujannya, karena dengan mengisi lubang tersebut, berarti kita memberi makan pada cacing dan cacing tersebut akan membuat jalur untuk meresapnya air hujan,” terang Anggriyan.

Anggriyan menjelaskan bahwa tidak heran kalau air hujan hanya menggenang di dalam lubang biopori kalian. “Lha belum diisi dengan sampah organik,” tambah Anggriyan. Dengan sigap, mereka pun bergegas mengisi lubang biopori tersebut dengan sampah daun yang ada di sekitar taman sekolah, tempat biopori paling banyak. Satu persatu biopori mulai diisi dengan sampah organik.

Kader lingungan sekolah ini pun mendapatkan tantangan dari Tunas Hijau untuk mengisikan seratus lubang biopori yang sudah ditandai di dalam lingkungan sekolah dalam 3 hari. Tidak hanya mengajak mereka mengecek lubang biopori saja, Anggriyan juga mengajak mereka untuk mengecek pemilahan sampah yang berjalan di kelas-kelas. Satu persatu tiga tempat sampah terpilah di depan kelas mulai diperiksa. Benar saja dari 10 set tempat sampah terpilah, masih banyak dari siswa yang belum mengerti tentang pemilahan sampah.

“Sosialisasi tentang pemilahan sampah harus kalian gencarkan. Kalau perlu buat poster atau himbauan yang bisa digunakan untuk mengingatkan mereka terhadap jenis sampah yang mereka pilah setiap harinya,” pesan Anggriyan. Pengomposan menjadi target program lingkungan mereka selanjutnya, dikarenakan mereka telah memiliki rumah kompos baru. Rumah kompos yang diharapkan bisa mengolah sampah organik yang ada di sekolah untuk menjadi pupuk kompos. “Dengan membuat pupuk kompos sendiri, kami tidak perlu repot-repot beli kompos di luar lagi,” ujar Amelia. (ryan)