Jurnalisme dan Pembinaan Lingkungan Hidup di SMPN 24

Surabaya- Selama perhelatan Surabaya Eco School 2012, tim jurnalis menjadi bagian penting dalam mempublikasikan program lingkungan sekolah yang sudah berjalan. Tanpa tim jurnalis, program lingkungan sekolah hanya didengar dan diketahui oleh warga sekolah saja, tidak pada orang lain di luar sekolah. fakta tersebut terjadi pada saat pembinaan lingkungan hidup di SMPN 24 yang digelar Tunas Hijau, Rabu (16/1). 

Panen kompos yang dilakukan saat pembinaan lingkungan hidup di SMPN 24 Surabaya bersama Tunas Hijau, Rabu (16/1). Sekolah ini mempunyai rumah kompos yang sempat hanya berfungsi sebagai rumah pembuangan akhir sampah

Seperti yang disampaikan Binti Ismiah, guru SMPN 24, mengungkapkan bahwa kader lingkungan masih menjalankan program lingkungan yang sudah diprogramkan lalu. ”Program lingkungan seperti Gertak Semut atau seperti operasi Semut, pemilahan sampah dan pengomposan masih berjalan. Namun, sayangnya tidak ada yang mendokumentasikan dan mempublikasikannya,” terang Binti Ismiah.

Melibatkan 40 orang siswa kader lingkungan, Anggriyan, aktivis Tunas Hijau, mengajak mereka untuk mempelajari tentang peran jurnalis lingkungan di sekolah. Disampaikan oleh Anggriyan bahwa untuk menjadi jurnalis lingkungan harus memiliki pemikiran yang kritis terhadap lingkungan.

“Tidak hanya itu, jurnalis lingkungan juga dituntut mampu mendokumentasikan momentum yang terjadi pada kegiatan lingkungan, kemudian membuat artikel yang sifatnya mengajak orang lain untuk peduli lingkungan juga,” terang Anggriyan. Lebih lanjut, Anggriyan mengajak mereka untuk menyimulasikan peran jurnalis lingkungan sekolah dalam program lingkungan di sekolah.

Dengan membawa peralatan tulis, mereka diajak untuk mencari permasalahan pada program lingkungan sekolah. Contohnya pengomposan. Sekolah yang berada di kawasan Karang Pilang ini memiliki rumah kompos baru. Permasalahan pun muncul. Menurut Angelina Yohana, pengomposan di sekolah masih berjalan.

Namun, tempat yang digunakan tidak sepenuhnya menjadi tempat pengomposan komunal. ”Rumah kompos kami berubah menjadi rumah pembuangan akhir sampah. Karena banyak tempat sampah yang dibuangnya selalu berakhir disini. Jadi tidak heran kalau ada banyak sampah plastik di tumpukan kompos,” terang Yohana, sapaan akrab siswa kelas 9G ini.

Tidak hanya pengomposan, program lingkungan lain seperti pemilahan sampah juga kurang berjalan dengan baik. Meskipun sudah disediakan 3 jenis tempat sampah terpilah, yakni, sampah kertas, plastik dan organik, namun warga sekolah masih belum bisa untuk membiasakan memilah sampah yang dihasilkan.

”Upaya sekolah sudah tepat, namun sayang kurang adanya sosialisasi yang berkelanjutan kepada warga sekolah. Dan itu harusnya menjadi tugas jurnalis dan kader lingkungan. Ditambah lagi, dengan kurang sadarnya warga sekolah dalam kebiasaan memilah sampah,” terang Angelia Tantiyono, siswa kelas 9G ini.

Sementara itu, setelah mereka mendapatkan bahan untuk dibuat artikel kegiatan hari itu, Angelina menyampaikan akan menindaklanjuti temuan dari simulasi yang baru saja dilakukan kepada guru pembina lingkungan.

“Saya ingin mengajak guru pembina lingkungan untuk terlibat dalam sosialisasi lingkungan tentang pemilahan sampah ke kelas-kelas. Setelah itu saya juga akan membuat artikel dan mengelola dokumentasi dan artikel unuk diupload ke website sekolah. Saya akan mempublikasikan semua program lingkungan sekolah melalui media online facebook dan website,” terang Angelina kepada Binti Ismiah. (ryan)