Pembinaan Lingkungan di SMAN 12, Sekolah Yang Tidak Peduli Lingkungan Lagi
Surabaya- Taman SMAN 12 yang dahulu digunakan untuk budidaya tanaman dan ikan lele sekarang sudah berubah. Banyak sampah yang dibuang secara sengaja oleh pesuruh maupun siswa ke dalam area taman sekolah. Alhasil, taman sekolah pun terlihat dipenuhi dengan sampah di dalam maupun di luar area tersebut.
Menurut Tittasari Wijayanti, siswa kelas XI-IPA6, sudah menjadi pembiasaan bagi warga sekolah untuk membuang sampah yang dihasilkan kelasnya ke dalam taman tersebut. “Meskipun Sabtu dan Jumat kemarin kami sudah membersihkan semua sampah yang ada di taman tersebut, tetapi setiap harinya, sampah mulai banyak dan berkumpul di daerah taman sekolah,” ujar Tittasari saat pembinaan lingkungan hidup bersama Tunas Hijau, Rabu (23/1).
Tidak hanya taman sekolah yang beralih fungsi menjadi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di sekolah, tetapi sekolah yang berada di kawasan Sememi ini juga kehilangan ciri khas sekolahnya terkait lingkungan. Benar saja, Anggriyan, aktivis Tunas Hijau, menanyakan tentang keberadaan tanaman semanggi yang menjadi ciri khas sekolah.
”Siapa yang tahu keberadaan tanaman semanggi di sekolah ini kemana?” tanya Anggriyan. Dengan tegas, Baroroh Nur Jihad, siswa kader lingkungan mengatakan bahwa sejak lama keberadaan tanaman semanggi di sekolah ini sudah tidak ada. Tidak ada yang membudidayakan tanaman semanggi. ”Tidak ada yang mau dengan rutin merawat dan membudidayakan semanggi. Dari dulu sampai sekarang, tanaman semanggi dibiarkan saja, jadi wajar saja kalau semangginya hilang,” ujar Baroroh Nur Jihad, siswa kelas 11 IPA6.
Dalam pembinaan ini, Tunas Hijau mengajak 80 orang siswa kader lingkungan untuk mencari permasalahan lingkungan yang ada di SMAN 12 ini bersama dengan solusinya. Sebagian besar kader lingkungan sepakat bahwa permasalahan lingkungan terbesar adalah sampah yang setiap hari menumpuk di taman sekolah. “Sampah tersebut harus segera dibersihkan, karena akan sangat mengganggu siswa dalam kegiatan belajar,” ujar Anggriyan.
Lebih lanjut, kader lingkungan harus membuat gerakan dengan melibatkan warga sekolah lainnya. Tahap sosialiasasi dilakukan kepada semua guru dan warga sekolah, terutama pesuruh sekolah. Tanpa berpikir panjang, Tittasari Wijayanti bersama teman-temannya segera bertindak membersihkan sebagian dari daerah taman sekolah. Satu per satu sampah yang didominasi dengan sampah plastik sudah dimasukkan ke dalam tempat sampah.
Segera setelah melakukan pembersihan sampah yang ada di taman sekolah, Anggriyan mengajak mereka untuk membuat lubang biopori yang baru pertama di sekolah mereka. Dengan perasaan riang dan penuh antusias tinggipun kader lingkungan ini melihat dengan seksama cara penggunaan bor lubang resapan biopori yang diperagakan oleh Anggriyan.
“Kalau mau buat lubang ya tinggal tekan kemudian putar bornya. Setelah itu lubang tersebut diberi pipa pada bagian atasnya lalu diisi dengan sampah organik,” tutur Anggriyan. Annisa Zahita dan Fitriyah Nur Mada pun berkesempatan untuk mencoba membuat lubang resapan biopori. Menurut Fitriyah, salah satu siswa menyatakan bahwa ternyata lubang biopori ini harus diisi dengan sampah organik, selain berfungsi untuk menangkap air hujan dan pemilahan sampah. (ryan)