Tidak Ada Lahan, Pesantren Darut Tauhid Surabaya Tanpa Pohon Pelindung

SURABAYA- Pesantren Darut Tauhid Surabaya mempunyai santri putra berjumlah 25 orang. Seluruh santri berusia 10 hingga 14 tahun. Pengurus pesantren yang terletak di daerah Wonokusumo ini berjumlah 8 orang. Kegiatan mengaji dilaksanakan tiap ba’da (setelah) ashar dan ba’da isya. 

Dari pagi hingga siang, para santri bersekolah di lingkungan pesantren. Bila santri telah lulus sekolah formal, maka akan dipindah ke Madura. Pesantren ini juga dilanda banjir saat hujan deras.  Tiap Jumat pagi, pesantren ini kerja bakti yang dilanjutkan dengan berziarah ke makam Sunan Ampel maupun olah raga seperti sepak bola.

Karena keseluruhan santri adalah putra, maka pihak pengurus menempatkan mereka dalam satu ruangan besar di lantai 2. “Ini juga untuk menjaga agar para santri tidak keluyuran. Di sini mereka makan 3 kali sehari dengan biaya 300 ribu sebulan,” kata Martiman, pengurus Pesantren Darut Tauhid Surabaya kepada Tunas Hijau saat melakukan pendataan lingkungan hidup program Eco Pesantren, Rabu (20/3).

Untuk kamar mandi ada 2 di samping kamar dan di daerah sekolah. Anak-anak mencuci baju di kamar mandi. Jemur baju di samping ruang komputer sekolah. Anak-anak hanya mengaji. Untuk keperluan memasak, ada petugasnya sendiri. “Kebanyakan santri berasal dari daerah Semampir dan Kenjeran,“ terang Martiman.

Gedung sekolah berada di samping gedung pesantren yang juga sama-sama berlantai dua. Karena sempitnya lahan, pesantren ini tidak punya pohon peneduh atau pelindung. Namun, di tempat menjemur pakaian, ada tanaman lamtoro yang merupakan milik warga sekitar pondok. Tempat menginap santri hanya dialasi dengan karpet. Meski jendela berukuran besar, namun jarang dibuka sehingga suasana kamar pengap. (ella)