Ular Tangga Lingkungan dan Permainan Tradisional di Car Free Day Darmo

Kompetisi bandulan etek-etek di Car Free Day Jalan Raya Darmo Surabaya, Minggu (31/3)
Kompetisi bandulan etek-etek di Car Free Day Jalan Raya Darmo Surabaya, Minggu (31/3)

SURABAYA- Pemainan ular tangga lingkungan hidup berukuran 6 x 6 meter menjadi daya tarik sendiri bagi masyarakat Surabaya, khususnya anak-anak untuk terus berkunjung pada pelaksanaan Car Free Day Jalan Raya Darmo Surabaya. Contohnya Sandrina Nuri Wahyu, yang hampir setiap Minggu dia berkunjung untuk bermain ular tangga lingkungan hidup berukuran 6 x 6. 

Tak hanya datang dan bermain, siswi kelas 5 ini datang dengan mengajak teman yang berbeda setiap Minggu. Minggu lalu, Rina, panggilan akrabnya membawa teman-temannya untuk bersepeda di Car Free Day. Namun, Minggu ini (31/3), Rina membawa teman sekelasnya untuk bersepeda di Car Free Day ini.

“Tujuan utama memang bersepeda sambil mencari permainan gratis yang bermanfaat seperti ular tangga lingkungan hidup ini,” ujar Rina. Dia menambahkan bahwa permainan ular tangga ini mempunyai tantangan tersendiri bagi pemainnya.

Selain ada tangga yang menandakan sang pemain harus naik dan ular yang menandakan turun, permainan ini juga mempunyai tantangan untuk mencari sampah. Bila sukses, pemain akan mendapatkan bonus untuk maju 3 langkah. Setiap kotak di permainan ular tangga ini juga mengandung informasi tentang lingkungan hidup. Ular tangga ini juga cukup menarik sebab yang dijadikan gaco merupakan orangnya sendiri.

Bermain sambil belajar peduli lingkungan hidup dengan ular tangga
Bermain sambil belajar peduli lingkungan hidup dengan ular tangga

Menurut aktivis senior Tunas Hijau Aulia Majid Udia Huda, permainan ular tangga di Car Free Day Jalan Raya Darmo memang selalu ramai dikunjungi khususnya anak-anak. Selain permainan ular tangga Tunas Hijau juga menggelar permainan tradisional. Walau permainan yang dihadirkan pagi ini hanya 1 jenis saja, namun antusiasme pengunjung masih sangat tinggi.

Hal ini dibuktikan diantaranya oleh Nabila Sri Wulandari, ibu 3 anak, yang mengajarkan anaknya untuk bermain bandulan etek-etek.  Nabila, panggilan akrabnya, memang semasa kecilnya hidup di desa.  Hampir permainan di desa itu menggunakan permainan tradisional seperti etek-etek, gobak sodor, slebor dan macam lainnya. “Namun, permainan tersebut sekarang sudah hampir tidak ada lagi,” ujar Nabila.

Di sisi lain, permainan etek-etek dijadikan ajang kompetisi bagi anak-anak yang singgah. Kompetisi ini mencari pengunjung yang merupakan anak-anak untuk bermain etek-etek paling lama. Dalam satu sesi peserta dengan 5 orang, mereka diberi waktu 3 menit untuk melakukan pemanasan.

Menurut Bambang Soerjodari, aktivis Tunas Hijau, kompetisi ini bertujuan untuk menarik anak-anak agar tetap belajar melestarikan permainan tradisional. Anak sekarang cenderung untuk memainkan permainan yang menggunakan listrik. “Yang menang akan mendapatkan stiker dan bisa membawa pulang permainan etek-etek ke rumah,” ujar Bambang. (suud)