Workshop Lingkungan Hidup Bagi Komunitas Pecinta Alam SMA/SMK

SURABAYA- Lebih dari 50 orang siswa perwakilan pecinta alam yang berasal dari SMA se Surabaya ini membuktikan diri sebagai komunitas pecinta alam, bukan perusak alam. Hal ini dibuktikan dengan berbagai aksi nyata yang mereka lakukan dalam workshop lingkungan hidup yang digelar komunitas Pecinta Alam SMAN 6 Surabaya (SMANAPALA) bersama Tunas Hijau, Sabtu (30/3). 

Siswa SMA/SMK Surabaya   anggota Pecinta Alam diajak melakukan urban farming
Siswa SMA/SMK Surabaya anggota Pecinta Alam diajak melakukan urban farming

Seperti yang disampaikan oleh Geby Dyvieda Marietha, siswa kelas 10, bahwa tujuan workshop ini adalah mengajak komunitas pecinta alam yang ada di sekolah-sekolah untuk lebih peduli terhadap lingkungan hidup. “Kami ingin menunjukkan kepada warga sekolah, kalau pecinta alam itu tidak hanya bisa panjat tebing atau naik gunung saja, tetapi juga cinta lingkungan,” ujar Geby Dyvieda, ketua panitia.

Workshop itu diikuti oleh perwakilan pelajar SMAN 9, SMAN 16, SMAN 21, SMA Muhammadiyah 2, SMKN 5 dan sekolah lainnya dari Surabaya. Fakta tentang pohon yang setiap menitnya Indonesia kehilangan hutan seluas 6 kali lapangan sepak bola  yang menjadi dasar diberikannya materi tentang urban farming, hidroponik dan lubang resapan biopori.

Anggota Pecinta Alam SMKN 10 Surabaya menunjukkan pembibitan hidroponik karyanya
Anggota Pecinta Alam SMKN 10 Surabaya menunjukkan pembibitan hidroponik karyanya

“Melalui ketiga materi ini, kami ingin mengajak teman-teman kami untuk lebih giat menanam. Jadi tidak ada alasan untuk tidak melakukan penghijauan di sekolah. Masih ada cara yang bisa dilakukan salah satunya adalah urban farming dan hidroponik ini,” terang Putri Purnomo, siswa kelas 10. Ketiga materi lingkungan ini diberikan dengan membagi peserta workshop menjadi tiga kelompok.  Antusiasme peserta workshop lingkungan ini terlihat saat mereka tidak takut untuk mencoba hal baru yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan.

Berbagai reaksi pun muncul dari peserta workshop terkait dengan ketiga kegiatan yang baru saja mereka ikuti itu. Seperti yang disampaikan oleh Dahlia Dwi Safitri, siswa kelas 11, yang mengaku baru pertama kali mengikuti kegiatan lingkungan seperti ini. ”Saya pernah menanam di sekolah, tetapi hanya sekali menanam terus sudah. Tetapi dari kegiatan urban farming  ini saya baru tahu kalau perawatan tanaman itu tidak hanya sekedar disiram saja, tetapi butuh diberi pupuk juga,” ujar Dahlia Dwi Safitri, perwakilan siswa SMAN 6 ini.

Lain halnya dengan yang diutarakan oleh Bagus Wahyu Setyadi, siswa SMKN 10, yang sudah pernah membuat lubang resapan biopori di sekolah ini. Menurut siswa berkacamata ini, setiap sekolah seharusnya membuat lubang resapan biopori untuk mengurangi genangan air saat hujan turun.

“Selain itu, lubang resapan biopori bisa untuk pupuk kompos karena lubangnya diisi dengan sampah organik. Seperti yang ada di sekolah saya,” ujar Bagus Wahyu, siswa kelas 11 SMKN 10 Surabaya. Usulan Bagus ternyata disetujui oleh peserta untuk diterapkan di sekolah masing-masing.

Siswa anggota Eco School SMAN 6 Surabaya mengajarkan cara membuat lubang resapan kepada peserta workshop
Siswa anggota Eco School SMAN 6 Surabaya mengajarkan cara membuat lubang resapan kepada peserta workshop

Pembuatan lubang biopori dan penghijauan di sekolah masing-masing menjadi salah satu kesepakatan yang dibuat oleh komunitas pecinta alam ini. Tidak hanya itu, pengolahan sampah dan pemilahan sampah antara sampah organik dan non organik pun menjadi bagian dari petisi atau deklarasi yang mereka sepakati bersama.

Di akhir kegiatan, Tunas Hijau mengajak mereka untuk membuat prasasti sebagai pengingat kegiatan workshop lingkungan ini. “Sebelum pulang, kertas harapan yang sudah kalian isi tersebut akan kita tempel sama-sama di banner putih ini. Kemudian silahkan masing-masing anak menandatangani prasasti tersebut,” seru Anggriyan Permana, aktivis senior Tunas Hijau. (ryan)