SDK St. Xaverius Terapkan Pembiasaan Memilah Sampah Sejak Dini
SURABAYA– Pembiasaan untuk memilah sampah seharusnya dilakukan sejak dini. Salah satu tempat untuk mengajarkan kebiasaan tersebut adalah sekolah. Fakta ini disebutkan oleh Pipit, guru pembina lingkungan SDK St. Xaverius kepada Tunas Hijau dalam kunjungan lingkungan pra Surabaya Eco School 2013 di sekolahnya, Selasa (22/07).
Pembiasaan memilah sampah ini sudah dikenalkan sejak siswa menginjak bangku kelas 1 oleh sekolah dengan mengajak mereka langsung praktek memilah sampah. Menurut penuturan guru lingkungan, Pipit, sekolah sudah memulai memisahkan tempat sampah kering, plastik, dan sampah basah.
“Di depan kelas sudah ada tiga tempat sampah untuk sampah kering, basah, dan plastik. Hal ini ditujukan agar warga sekolah mulai membiasakan diri memilah sampah mereka sesuai dengan jenisnya,” ujar Pipit. Pipit menambahkan memang pembiasaan tersebut tidak selalu berjalan sempurna, masih ada beberapa siswa yang tampak kebingungan dalam membedakan antara jenis sampah kering dan basah.
Seperti yang dialami oleh salah seorang siswa kelas 3, Yohanes Santoso ini tampak kebingungan meletakkan sampah yang dihasilkan ditempat sampah dengan warna apa. “Saya masih bingung kak, kalau plastik es yang basah ini dimasukkan kedalam tempat sampah warna apa ya?” tanya Yohanes kepada Tunas Hijau.
Tanpa ragu, Rany Purnomo Hadi, simpatisan lingkungan Brawijaya ini menjawab kalau sampah plastik es basah itu seharusnya dimasukkan kedalam tempat sampah kering berwarna kuning. “Meskipun terlihat basahm tetapi plastik kan termasuk sampah kering dik,” ujar Rany.
Selain menanamkan kebiasaan memilah sampah, Tunas Hijau juga mengajak mereka untuk melakukan pengomposan sampah organik seperti daun kering dan sisa makanan. Hanya saja, untuk proses pengomposan ini masih belum maksimal. Kendalanya, Belum semua warga sekolah terlibat dalam perawatan kompos.
“Untuk pengomposan, di sekolah sudah tersedia tong aerob yang digunakan untuk mengolah sampah daun kering. Akan tetapi partisipasi seluruh siswa belum maksimal. Baru siswa kelas 3 hingga kelas 6 saja yang sudah mulai terbiasa mengompos,” jelas Pipit.
Awal tahun ajaran baru menjadi salah satu kendala kurang maksimalnya partisipasi dari peserta didik baru, mulai kelas 1 dan kelas 2. Pasalnya mereka belum terlalu paham dengan cara pengomposan yang diterapkan di sekolah. Menurut Valencia, siswa kelas 5, siswa kelas satu memang belum terlalu paham dengan program pengomposan. Sehingga tidak banyak dari mereka yang terlibat.
“Kalau kelas lima atau kelas enam sudah terbiasa mengompos kak. Nah, mereka kan masih baru, jadi belum tau. Maka dari itu Kami mau ajari mereka bagaimana cara membuat kompos itu,” ucap Valencia. Kurangnya partisipasi dari siswa ini direspon langsung oleh pihak sekolah. Rencananya, sekolah akan mengadakan sosialisasi dan pembinaan bagi siswa baru untuk memahami mengenai pengolahan sampah.
“Kami menyadari kalau partisipasi para siswa masih kurang. Selama ini yang lebih sering melakukan pengomposan itu petugas kebersihan sekolah. Ditambah lagi siswa yang lama baru saja liburan jadi mereka belum mulai aktif mengolah sampah. Untuk itu kami berencana mengadakan pembinaan bagi siswa, khususnya kelas satu, tentang pengolahan sampah,” terang Pipit. (Rany)