Mengenal Ulat Dan Kumbang Hewan Yang Membantu Pengomposan
Pengomposan komunal yang dimiliki Tunas Hijau sudah beberapa kali panen kompos. Setelah dipanen, seringkali kotak pengomposan ini langusng diisi penuh kembali. sejak awal Desember tahun lalu, sedikitnya 35 kg sampah organik jenis daun, sisa buah dan sayuran berhasil dikumpulkan oleh Bambang Soerjodari, aktivis Tunas Hijau.

Media pengomposan sederhana yang hanya ditumpuk saja itu, setiap harinya diisi dengan sampah organik yang berasal dari lingkungan sekitar perumahan Semolowaru Indah I. Menurut penuturan Bambang, setiap harinya dirinya mengumpulkan sampah organik yang ada di lingkungan perumahan.
“Kalau dihitung-hitung, setiap harinya, sedikitnya 25 kg sampah organik jenis sampah daun, rumput dan ranting setiap harinya,” ujar Bambang. Sampah organik tersebut berasal dari sampah organik yang ada di tepi jalan, dedaunan dari pohon yang jatuh. Tidak hanya itu, sesekali, Bambang bersama dengan aktivis Tunas Hijau lainnya mengumpulkan sampah organik yang ada di pasar tradisional.
“Tidak jarang, kami mengumpulkan sampah organik yang ada di pasar tradisional, sedikitnya lebih dari 2 karung besar berhasil dikumpulkan dalam sekali ambil,” ucap Bambang. Sementara itu, memasuki usia 1 bulan, sampah organik yang dikomposkan tersebut baru melalui proses pembalikan.

“Karena sudah satu bulan lebih, jadi hari ini waktunya untuk proses pembalikan sampah organik yang tertimbun di bawah, harus ditukar dengan sampah organik yang masig baru,” ucap Bambang. Selama proses pembalikan, beberapa hewan ditemukan di tumpukan kompos seberat 100 kg dalam satu bulan, diantaranya ulat pengurai, kumbang dan cacing.
Mengenai ulat berwarna putih besar ini, Bambang menghimbau kepada seluruh kader lingkungan yang memiliki kejadian sama yakni menemukan ulat besar berwarna putih, ulat tersebut tidak perlu ditakuti atau bukan berarti proses pengomposan sudah gagal.

“Awal pengomposan memang ulat tersebut masih belum muncul, tetapi proses pengomposan membutuhkan kelembaban, nah ulat ini akan muncul saat proses pengomposannya dalam keadaan lembab, semakin hari, ulat ini akan semakin besar karena menguraikan sampah organik secara perlahan,” ucap Bambang Soerjodari.
Keberadaan ulat pengurai dan kumbang bukan merupakan tanda jika kompos yang dikelola gagal. Hal tersebut yang disampaikan oleh Bambang Soerjodari, aktivis Tunas Hijau bahwa justru ulet yang terlihat seperti belatung ini membantu proses penguraian sampah organik menjadi pupuk kompos nantinya.
“Kalau bisa jangan sampai takut memegang ulet berwarna putih besar ini, karena ulet ini yang menguraikan sampah organiknya,” ucap Bambang sambil menunjukkan ulet besar. Dijelaskan oleh Bambang bahwa manfaat lain dengan adanya pengolahan sampah organik menjadi kompos, tanah yang ada disekitar menjadi banyak cacing.

Proses pengomposan yang dilakukan oleh Tunas Hijau sendiri menerapkan proses pengomposan sederhana, dengan hanya ditumpuk saja. Hal ini membuat proses pembusukan sampah organiknya menjadi lama.
“Kalau menggunakan metode seperti jaman dulu ini, proses pembuatan komposnya agak lama, karena membutuhkan beberapa kali pembalikan. Dalam 2 minggu lagi, saya masih akan melakukan pembalikan untuk yang terakhir, setelah itu seminggu kemudian baru bisa dipanen,” ucap Bambang.
Aktivis Tunas Hijau ini menghimbau kepada seluruh sekolah agar tidak jera dan takut mengolah sampah organik di sekolah dan sekitarnya untuk menjadi kompos.