Suminah, Eco Teacher (Junior) of the Year 2016
Challenge atau tantangan mingguan yang selalu diberikan oleh Tunas Hijau dalam setiap program Surabaya Eco School maupun Ecopreneur membuatnya tidak bisa tidur. Alasannya, dirinya selalu “kepikiran” dengan tantangan yang belum bisa direalisasikannya bersama timnya. Dialah Suminah, guru matematika SMPN 11 yang juga merupakan seorang guru pembina lingkungan hidup di sekolahnya.
Perempuan kelahiran Nganjuk ini merasakan ada yang kurang apabila dirinya belum bisa menyelesaikan tantangan mingguan. “Tantangan atau challenge setiap minggunya itu merupakan bom waktu bagi saya. Saya bahkan sampai tidak bisa tidur karena kepikiran terus dengan tantangan yang belum terealisasi. Pokoknya kalau ada tantangan itu saya harus bisa melakukannya tepat waktu,” terang pembina lingkungan peraih penghargaan Eco Teacher Junior) of The Year 2013 dan 2016 Surabaya Eco School.
Sebagai pembina lingkungan, Suminah melakukan segala bentuk aktivitas lingkungan mulai dari pemilahan sampah, pengolahan sampah organik menjadi kompos dengan keranjang dan tong komposter dan pembuatan lubang resapan biopori. Semua aksi nyata itu dijalankan dengan kemauan dan niatan yang kuat. “Prinsip saya adalah selalu melakukan pekerjaan yang saya suka dengan hati, pantang menyerah dan enjoy atau santai,” terang Suminah.
Sosok yang dikenal ulet, cekatan, pantang menyerah dan murah senyum ini setiap hari tidak kenal lelah mengajak warga sekolah untuk melakukan aksi nyata peduli lingkungan. Kiprahnya mulai dari tahun 2010 hingga menjadi inspirasi bagi orang lain, siswa maupun guru. Salah satunya seperti yang disampaikan oleh Hilmi Akbar, siswa kader lingkungan, setiap kali melihat sosok perempuan alumni SMAN 7 cekatan dalam mengelola lingkungan, dirinya ikut.
Berkat kegigihannya bersama kader lingkungan sekolah yang berlokasi di Jalan Sawah Pulo ini, mereka bisa mempunyai inventaris berupa tablet bermerek Lenovo 7 inch yang digunakan untuk keperluan dokumentasi tim lingkungan. “Tahun 2016, kami fokus untuk menjual sampah anorganik khususnya kertas selama setahun. Perolehan penjualan selama 3 kali saja, sebesar 1.300.000 rupiah yang kami wujudkan tablet ini,” terang alumni S1 Matematika UNESA.
Setiap tahunnya, sekolahnya mengalami berbagai perubahan, mulai dari perubahan kaderisasi, penambahan program lingkungan hingga pembiayaan kegiatan lingkungan. Tahun lalu, tidak hanya kertas saja, perempuan kelahiran Nganjuk 17 Januari 1970 ini mengajak kader lingkungan mengolah sampah organik menjadi kompos. Hasilnya, selama setahun mereka bisa menjual kompos kepada warga sekolah sebesar Rp 2.834.000.
Uang hasil penjualan kompos tersebut digunakan untuk operasional kegiatan tim lingkungan baik di dalam maupun di luar sekolah. “Sejak tahun 2016, kami berkomitmen mandiri dalam pendanaan kegiatan lingkungan hidup dan tidak bergantung pada biaya anggaran sekolah. Tidak lagi minta anggaran sekolah, melainkan dengan menggunakan uang hasil mengolah sampah,” ujar Suminah, ibu dua orang anak ini. Pemenuhan kebutuhan mandiri tim itu seperti konsumsi, penambahan fasilitas lingkungan lainnya
Rencana berikutnya, dirinya ingin mempersiapkan tim lingkungan yang mandiri tanpa menunggu komando darinya. “Saya ingin anak-anak bisa mandiri dalam melakukan kegiatan lingkungan sesuai pembagian program kerja tanpa harus menunggu saya yang minta atau nyuruh. Tugas saya adalah menyiapkan orang-orangnya,” ucap guru yang juga pernah meraih penghargaan Guru Terbaik Ecopreneur 2016 SMP ini. (ryn)