Kun Mariyati, Guru Pembina LH SMPN 23 Surabaya

Dikenal sebagai sosok yang menyeramkan, jahat dan bernada tinggi oleh siswanya yang kelas 7, dianggapnya sebagai hal yang lumrah. Alasannya, sebagian besar mereka yang memberikan stigma tersebut didapati dari opini kakak kelas mereka. Stigma tersebut pun berubah setelah mereka mulai berinteraksi dan mengenal sosoknya terutama dalam kegiatan lingkungan.

Dialah Kun Mariyati, guru pembina lingkungan hidup SMPN 23 Surabaya. Sejak 2007, saat dirinya menjabat sebagai wakil kepala sekolah bagian kesiswaan, Kun Mariyati gemar mengajak siswa untuk menanam tumbuhan. Saat itu, dirinya harus berjuang sebagai single fight dalam urusan kegiatan lingkungan.

Penyebabnya adalah kurangnya dukungan dari kepala sekolah. Setiap kegiatan lingkungan yang ada di sekolah selalu dikerjakan oleh tangan dinginnya. Mulai dari menanam, mengajak siswanya untuk membuang sampah di tempatnya hingga mengajak mereka untuk berkompetisi di program lingkungan.

Kun Mariyati bersama siswa kader lingkungan hidup SMPN 23 Surabaya memanen bunga kenanga yang menjadi ikon sekolah

“Mulai 2007, pengelolaan lingkungan dan kegiatan lain seperti perpustakaan saya sendiri yang urus. Tapi hal itu bukan kendala maupun halangan bagi saya. Saya tetap jalani sebisa saya. Sampai pada 2012, saya menemukan chemistry dengan kepala sekolah baru Bu Elly Dwi Pudjiastuti,” kata Kun Mariyati.

Dijelaskan oleh peraih penghargaan Eco Teacher (Junior) of the Year 2011 ini, bahwa sekolah langsung memenuhi segala sarana yang terkait kegiatan lingkungan dan perpustakaan. “Hasilnya, di tahun pertama saya bersama Bu Elly, sekolah berhasil menunjukkan tajinya di lingkungan pada program Surabaya Eco School 2012,” ucap Kun Mariyati.

Seperti layaknya gembok dan kunci, dukungan yang diberikan oleh mantan kepala SMPN 40 Surabaya Elly Dwi Pudjiastuti kepada Kun Mariyati yang guru lulusan Ekonomi UNESA ini tidak disia-siakan. Perubahan secara fisik maupun perilaku warga sekolah menjadi prioritas dari dukungan yang diberikan sekolah.

Kun Mariyati saat mengikuti tanam mangrove Hari Bumi 2017

Diantara dukungan yang diberikan adalah dengan memfasilitasi segala kebutuhan pengembangan program lingkungan di sekolah. Perempuan yang memiliki 3 orang anak ini mengungkapkan bahwa saat itu antara lingkungan dengan perpustakaan hampir sama kondisinya.

“Sebelum menangani lingkungan, saya sudah lebih dulu menjadi kepala perpustakaan sekolah. Sejak ada Bu Elly, sarana dan fasilitas yang ada dipenuhi. Hal ini secara berkala mampu membuat sekolah meraih berbagai macam prestasi. Kondisi ini saya terapkan juga pada program pengelolaan lingkungan,” ujar perempuan kelahiran Bojonegoro, 9 Juni 1961.

Berkat tangan dinginnya, berbagai prestasi diraihnya. Selama beberapa tahun pelaksanaan Surabaya Eco School, sekolah yang berlokasi di Jalan Baruk Barat Permai ini meraih predikat juara. SMPN 23 juga beberapa kali menjuarai program wirausaha lingkungan hidup sekolah Ecopreneur.

Mengabdikan diri menjadi seorang guru utamanya guru yang peduli lingkungan bagi Kun Mariyati adalah pilihan. Mulai kali pertama menjadi guru di SMPN 23 pada 1985, dirinya sudah mulai mengajak anak didiknya menjaga lingkungan. Guru yang mempunyai sebutan Egois tapi Pemurah ini mengatakan selama dirinya “ngopeni” lingkungan, selalu ada hal baik yang terjadi pada ketiga anaknya di rumah.

“Dengan saya menjaga dan memperhatikan lingkungan, saya percaya Tuhan akan menjaga dan memperhatikan keluarga saya. Buktinya, anak-anak saya diberikan kemudahan untuk melanjutkan kuliah S3 di luar negeri,” terangnya.

Tidak hanya menginspirasi di sekolah, di daerah rumahnya Wisma Kedung Asem Indah ini, dirinya mengajak ibu-ibu PKK lain untuk menanam cabai di lahan kosong. Tak kenal lelah, dirinya sampai harus “macul” lahan kosong itu sendiri. Tidak hanya menanam cabai, dirinya juga aktif mengajak PKK kampungnya dalam melakukan kegiatan lingkungan.

Dinda Febri Putri, ketua kader lingkungan SMPN 23, mengaku bahwa kesan pertama kali saat melihat Kun Mariyati adalah menyeramkan dan takut. “Saya terus diajak dan dikenalkan kepada program lingkungan. Semakin saya mengenal beliau, kesan pertama pun hilang berubah menjadi kesan yang menginspirasi saya. Saya jadi tahu, kenapa beliau disiplin dan teriak-teriak. Semata-mata ingin anak didiknya hebat,” ucap Dinda, siswa kelas 8. (ryn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *