Sumiyati, Kepsek yang Borong Semua Produksi Kompos Green Arkensi
Produksi kompos perusahaan siswa Ecopreneur 2017 Green Arkensi SDN Tanah Kalikedinding I Surabaya ini mencapai 700 kg. Semua kompos itu diborong alias dibeli oleh sekolah. Per 5 kg dibeli dengan harga Rp. 5.000. Total Rp 840.000 dari hasil pengolahan sampah organik yang dilakukan selama sekitar 8 pekan. Ialah Kepala SDN Tanah Kalikedinding I Surabaya Sumiyati yang membeli semua produksi kompos Green Arkensi itu untuk pemupukan tanaman yang ada di sekolah.
Ecopreneur ini, bagi SDN Tanah Kalikedinding I, sudah dua kali diiikuti, sehingga sedikit banyak mereka mempunyai pengalaman. Dari bekal pengalaman inilah mereka mengetahui bagaimana sebenarnya ecopreneur itu. “Kalau melihat tantangan demi tantangan dari Ecopreneur 2017 yang diselenggarakan oleh Tunas Hijau bersama Pemerintah Kota Surabaya, serta didukung PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur dan Hotel Mercure Grand Mirama, memang luar biasa,” ujar Sumiyati.
Bagi Sumiyati, Ecopreneur membutuhkan ketangguhan dalam memanfaatkan kondisi sekolah serta sumber daya apa yang ada di sekolah tersebut, sehingga layak untuk dibuat suatu usaha yang bermanfaat dan berdaya saing dengan usaha pada umumnya. “Dari bekal pengalaman tahun lalu, saya selaku kepala sekolah menjadi lebih tahu bidang apa saja yang harus dilakukan oleh para ecopreneur di SDN Tanah Kalikedinding I ini,” ujar kepala sekolah kelahiran Surabaya 8 Mei 1960 ini.
Ecopreneur banyak sekali manfaatnya bagi para siswa, karena dalam berwirausaha ini anak lebih tahu tentang bidang usaha, peluang usaha, dan bagaimana memasarkan produk. “Anak langsung terjun ke lapangan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang ada dalam berwirausaha, sehingga mereka akan berusaha untuk menjadi lebih baik dalam berwirausaha,” jelas kepala sekolah yang tinggal di Jl Karang Empat Besar 197 Surabaya ini.
Tantangan Ecopreneur 2017 yang paling menarik, menurutnya, adalah grebek pasar untuk bahan pembuatan kompos. “Disini mental benar-benar diuji karena harus masuk pasar tradisional dan meminta sampah organik yang tidak dipakai. Sampah yang semestinya dibuang oleh pemiliknya, ini malah diambil dan diolah menjadi pupuk baik melalui keranjang takakura maupun tong aerob,” tutur Sumiyati.
“Mental anak-anak diuji karena masuk pasar untuk mengambil sisa-sisa sampah dari pasar. Butuh berkomunikasi yang baik dengan para pedagang dan berusaha tidak merugikan para pedagang,” kata kepala sekolah peraih penghargaan Eco Headmaster (Elementary) of the Year 2015 ini. Justru dengan gerebek pasar, katanya, para pedagang malah diuntungkan karena sampahnya sudah ada yang mengambil untuk lebih bermanfaat menjadi pupuk. “Ini berarti mengurangi volume sampah di pembuangan sampah,” lanjut Sumiyati.
Kegiatan Ecopreneur 2017 yang lainnya, yaitu tentang pengumpulan modal dari sampah kertas, plastik, rongsokan dan sampah lainnya. “Inilah tantangan yang unik dari Ecopreneur, dengan modal sampah bisa berubah menjadi jutaan rupiah. Bahkan modal ecopreneur tidak boleh dari uang cashsekolah. Menarik memang kegiatan ecopreneur ini,” katanya.
Disamping belajar berwirausaha, ternyata Ecopreneur 2017 juga mengasah kepekaan sosial para pesertanya yaitu dengan program “Trash To Cash”, yaitu mengumpulkan sampah untuk dijual dan hasil penjualannya disumbangkan pada korban bencana alam. “Ini yang luar biasa bagi saya selaku kepala sekolah, anak dididik untuk berwirausaha dan dididik pula untuk peka terhadap lingkungan yang mengalami musibah, terutama bencana alam sebagaimana yang terjadi di Ponorogo dan Nganjuk Jawa Timur,” kata Kepala SDN Tanah Kalikedinding I Sumiyati.
Ini berarti menanamkan nilai-nilai kemanusiaan pada diri peserta ecopreneur bahwa dalam berwirausaha itu tidak mencari keuntungan semata, namun juga harus peka terhadap lingkungan sekitar. “Mudah-mudahan program ecopreneur ini semakin maju dan berkembang dan dapat menciptakan genenrasi yang unggul dan peka terhadap kehidupan sosial sebagai mengusaha yang manusiawi,” harap Sumiyati. (ron)