Workshop Kompetisi Hidroponik di SDN Kebonsari I Ajang Unjuk Gigi Untuk Siswa
Bukan sekedar workshop lingkungan pada umumnya, workshop hidroponik kali ini tampak berbeda dari yang sudah digelar pada akhir tahun lalu. Pada gelaran workshop hidroponik yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Kota Surabaya bersama Tunas Hijau ini, setiap sekolah diwajibkan membawa satu alat atau media hidroponik sederhana menggunakan teknik sumbu yang terdiri dari bak penampung, stereofoam atau cardboard, netpot, kain flanel, rockwool dan benih sayuran. Workshop yang dimulai hari ini, Senin (16/04) digelar di SDN Kebonsari I Surabaya.
Disampaikan oleh Mochamad Zamroni, aktivis sekaligus presiden Tunas Hijau, bahwa kali ini workshop hidroponik langsung mengarah pada kompetisi hidroponik antar sekolah dasar yang digagas oleh Dinas Pendidikan. “Ini kelanjutan momen Desember akhir tahun lalu dimana workshop lalu dinilai masih kurang dianggap serius dan greget oleh sekolah-sekolah. Maka dari itu, kali ini dibuatlah kompetisi hidroponik untuk sekolah dasar di Surabaya dengan pioner gerakan perawatannya adalah siswa,” jelas Zamroni.
Umumnya, adanya metode hidroponik di sekolah dikelola oleh penjaga sekolah ataupun guru tertentu yang diberikan tanggung jawab perawatan untuk itu. Pada workshop kali ini, Tri Aji, Kasie Kesiswaan Dikdas Dinas Pendidikan Kota Surabaya, mendorong agar siswa yang diberikan peran lebih besar untuk merawat dan mengelola hidroponik di sekolah. “Kalau hanya melibatkan siswa pada saat panen sayurannya terlihat kaku. Makanya, kami ingin agar siswa mempunyai tanggung jawab penuh untuk memimpin proyek hidroponik ini, mulai dari perawatan hingga panen,” ucapnya.
Diikuti oleh 78 orang perwakilan siswa dan guru dari 26 sekolah dasar di wilayah Surabaya Selatan, workshop ini akan digelar selama satu minggu mulai dari tanggal 16 – 25 April. “Kami akan berpindah tempat setiap harinya dua sekolah, dimana pembagiannya sesuai dengan wilayah sekolah masing-masing. Dalam workshop ini, kami juga akan mengajak mereka langsung praktek membuat hidroponik dengan sistem sumbu baik dengan bak penampungan kecil maupun gelas air mineral ukuran 1,5 Liter,” ujar Bram Azzaino, aktivis Tunas Hijau sekaligus pemateri workshop.
Beragam permasalahan disampaikan oleh peserta workshop karena merekapun sudah memulai membuat hidroponik tetapi selalu gagal. Kegagalan merekapun banyak terjadi pada saat proses penyemaian. Seperti yang disampaikan oleh Halimah Sya’diyah. Guru perwakilan SDN Jagir I, hidroponik yang dibuat di sekolahnya selalu mati sebelum bisa dipindahkan ke netpot pada instalasi hidroponik menggunakan sistem NFT (Nutrient Film Technique). “Bagaimana caranya agar kita berhasil dalam proses penyemaian?” tanyanya.
Bram Azzainopun menunjukkan kepada mereka proses budidaya sayuran pada hidroponik sistem NFT yang ada di luar. Sebelumnya, menjawab pertanyaan guru pembina SDN Jagir I, aktivis jebolan teknik lingkungan ITS ini mengungkapkan bahwa benih yang ditanam di rockwool harus pecah dulu, setelah itu dipanaskan diterik matahari. Nah, selama proses penjemuran bibit sayuran harus telaten untuk memberi air di rockwoolnya. Jangan terlalu basah, lembab saja. Kemudian, setelah dilakukan terus menerus selama 10 hari hingga muncul 4 daun sejati, baru bisa dipindahkan,” ujar Bram. (ryn)
Keterangan Foto : Bram Azzaino, aktivis Tunas Hijau menjelaskan cara perawatan sayuran sawi maupun selada pada sistem hidroponik NFT (Nutrient Film Technique) kepada peserta workshop hidroponik di SDN Kebonsari I, Senin (16/04)
saya sangat senang
Ikut senang deh membacanya. Antusias besar sekali
Cantika Azka Rana Ramadhani
No peserta : 238
Sdn Margorejo 1 surabaya
Judul proyek : larutan sapu jagat eco enzyme