Gempa. Kita Kenal, Kita Selamat dan Kita Menyelamatkan

Sejak tahun 1800 – 2022 sangat banyak terjadi bencana di Indonesia. Kalau dilihat dengan statistiknya, maka bencana yang paling banyak adalah yang terkait dengan perubahan iklim. Di antaranya banjir, longsor, kekeringan, puting beliung, dan kebakaran hutan.

“Sedangkan bencana berupa gempa dan gunung meletus jumlahnya memang sedikit. Tapi dari segi kerusakan dan korban, jumlahnya (gempa bumi dan gunung Meletus) lebih banyak bila dibandingkan dengan bencana yang lainnya,” kata Dr. Ir. Amien Widodo, M.Si, Peneliti Senior Pusat Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim ITS pada Webinar Seri#112 “Mitigasi Bencana” yang diselenggarakan oleh Tunas Hijau, Jumat (30/12/2022).

Amien Widodo mengatakan bahwa kerugian negara tiap tahun akibat bencana yang terjadi di Indonesia rata-rata mencapai 22,8 triliun rupiah. “Rata-rata yang meninggal dunia 1.183 jiwa dalam 10 tahun terakhir,” kata Dosen Teknik Geofisika ITS ini.

Dari risiko bencana, disampaikan oleh Amien Widodo, Indonesia termasuk 1 dari 35 negara dengan risiko bencana tertinggi di dunia. “Di Cianjur belum lama ini, gempa dengan kekuatan 5,6 skala richter kerusakannya sangat banyak. Yang meninggal juga sangat banyak,” terang Amien Widodo.

Sebuah renungan pun disampaikan oleh Amien Widodo. “Kenapa kejadian alam di Indonesia berubah menjadi bencana? Dan terus berulang-ulang? Apakah korban jiwa, kerusakan dan kerugian ekonomi belum cukup? Apakah pengalihan dana pembangunan ke dana darurat akan terus berlangsung?” ujar Dr. Ir. Amien Widodo, M.Si.

Amien menjelaskan mengenai takdir alam Indonesia. “Kepulauan Indonesia ibarat tumpukan lembaran material dengan sifat berbeda-beda yang didorong oleh 3 buldoser dari selatan, arah utara dan arah timur dengan kecepatan 2-7 cm per tahun,” jelasnya. Dari pemantauan satelit bisa didapati terjadinya pergeseran daratan itu.

Ternyata, wilayah Indonesia timur lebih sering terjadi gempa dibandingkan wilayah Indonesia barat. “Karena minimnya terjadi gempa di wilayah Indonesia barat, tidak jarang masyarakat jadi merasa kurang peduli terhadap gempa,” kata Amien Widodo.

Dia menegaskan bahwa sebenarnya gempa tidak membunuh. “Gempa adalah gelombang saja. Gelombang itu bisa menimbulkan efek domino, yang harus kita perhatikan. Di dalam tanah, gempa bisa menyebar ke segala arah,” jelas Amien Widodo.

Lantas apakah yang membunuh kita? Amien Widodo menjelaskan bahwa yang membunuh kita sebenarnya adalah rumah kita. “Jadi kalau rumah kita tidak didesain terhadap potensi gempa yang kemungkinan terjadi, maka akan bisa membunuh kita. Sering dijumpai bangunan rumah di Indonesia tanpa tulangan yang rawan saat gempa terjadi,” ujarnya. 

Dia memberi contoh pada kejadian Tsunami Aceh 2004. “Banyak bangunan masjid di Aceh yang masih utuh. Ini disebabkan karena kearifan local yang diterapkan dengan memperbanyak lubang-lubang besar pada bangunan masjid,” terang Amien Widodo.

Faktor likuifaksi juga bisa membunuh ketika gempa terjadi. “Pemetaan likuifaksi sangat penting untuk meminimalkan dampak gempa,” kata Amien Widodo. 

Longsor juga bisa membunuh saat gempa terjadi, seperti yang terjadi di Cianjur, Jawa Barat pada akhir tahun 2022. “Gempa di Cianjur menyebabkan terjadinya longsor sehingga banyak korban jiwa,” terangnya.

Amien Widodo, Peneliti Senior Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim ITS

Amien mencontohkan beberapa bangunan yang dibuat leluhur di Indonesia yang termasuk contoh bagus bangunan yang mengantisipasi gempa. “Candi Borobudur yang dibuat pada abad 8 dan masih relatif utuh karena dibuat dengan perencanaan yang aman gempa,” ujarnya. 

Candi Brahu di Mojokerto juga termasuk contoh bangunan leluhur yang tahan gempa. “Bangunannya tanpa semen tapi terbukti tahan gempa,” dia menerangkan. Faktanya, Amien menambahkan, bahwa risiko bencana atas kejadian alam terjadi karena tidak tahu, tidak ingin tahu dan tidak mau tahu.

Penelitian gempa hasil survei Gempa Kobe, Jepang, dijelaskan oleh Amien Widodo, pertolongan diri sendiri mendapat prosentasi terbesar (34,9%), pertolongan keluarga (31,9%), pertolongan teman/tetangga (28%), pertolongan pejalan kaki (2,6%), pertolongan tim penyelamat (1,7%) dan pertolongan lainnya (0,9%). 

“Yang berarti pemahaman tiap individu terhadap gempa sangat penting untuk meminimalkan dampaknya,” pungkas Amien Widodo, Peneliti Senior Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim ITS. 

Penulis: Mochamad Zamroni 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *