Putri Lingkungan Hidup 2022 Callysta Kusuma Azalia (1), Olah Sampah Organik, Maggot dan Budidaya Ikan dalam Ember
Namanya Callysta Kusuma Azalia. Belia, yang berulang tahun ke-10 pada 17 Februari 2023 lalu, ialah siswa SDN Kaliasin 1 Surabaya. Pada 28 September 2022, Callysta dinobatkan sebagai Putri Lingkungan Hidup 2022 tingkat sekolah dasar (SD) oleh Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi. Penobatan itu dilakukan setelah proses seleksi yang panjang, sekitar 6 bulan, sejak Februari 2022.
Tita, panggilan akrab Callysta Kusuma Azalia, mengembangkan proyek lingkungan hidup berupa budidaya ikan lele dan tanaman kangkung dalam ember serta membudidayakan maggot BSF (black soldier fly atau lalat tentara hitam) sebagai pakan lele.
“Saya mengembangkan proyek lingkungan hidup ini bermula dari ketertarikan pada ikan lele yang merupakan ikan yang mengandung protein sangat tinggi dan mudah dibudidayakan,” kata Tita yang bercita-cita sebagai dokter ini. Dia mulai berpikir bagaimana cara membudidayakan ikan lele dengan lahan yang terbatas.
Tita dibantu oleh kedua orang tuanya dan gurunya mencari cara yang tepat untuk membudiyakan ikan lele dengan lahan yang terbatas, Akhirnya dia menemukan cara membudidayakan ikan lele dalam ember. “Ember yang digunakan adalah ember bekas yang ada di sekitarku sehingga bisa mengurangi sampah plastik dengan memanfaatkannya menjadi sesuatu yang berguna,” ujar Tita.
Langkah awal yang dilakukan oleh Tita dalam melaksanakan proyek lingkungan hidup ini adalah mendesain ember yang akan digunakan. “Bagian tutup ember bagian tengah diberi lubang berdiameter kurang lebih 30 cm dan bagian tepi diberi lubang seukuran gelas plastik sebagai sarana untuk membudidayakan tanaman kangkung.” Jelas Tita.

Pada bagian bawah ember diberi kran air yang berfungsi untuk mempermudah menguras air dalam ember. Berikutnya membuat rak untuk meletakkan ember lele. Ukuran raknya disesuaikan dengan luas lahan yang akan digunakan. Sebelum digunakan dipastikan bahwa ember bekas yang akan digunakan dicuci bersih supaya ikan yang akan dibudidayakan tidak mati.
Berikutnya menyiapkan gelas plastik bekas yang akan digunakan untuk menanam kangkung. “Pada gelas plastik tersebut diberi arang yang berfungsi sebagai media tanam,” Tita menerangkan. Dia memilih tanaman kangkung karena mudah dibudidayakan serta mengandung banyak vitamin. Jenis kangkung yang dipilih adalah kangkung bangkok.
Untuk memulai budidaya ikan dan tanaman kangkung dalam ember, penyiapan ember menjadi langkah pertama. Setelah ember siap, dipilih bibit lele yang berukuran kurang lebih 15 cm. “Kalau ukurannya terlalu kecil, ikan mudah mati. Satu ember besar bisa untuk menampung 50 ekor lele dan ember kecil bisa menampung 20-30 ekor,” kata Callysta Kusuma Azalia.
Ember diisi air sampai menyentuh bagian bawah gelas plastik yang terletak pada tutup ember sehingga akar kangkung bisa memperoleh mineral dari air dalam ember. Berkat kerja kerasnya, Callysta sudah berhasil membudidayakan lele sebanyak 20.210 ekor dan tanaman kangkung sebanyak 37.000 batang
Awalnya Callysta, yang akrab dipanggil Tita ini, menggunakan pelet lele pabrikan untuk memberi pakan lelenya. “Budidaya ikan lele dalam ember ini berkembang. Makin hari makin banyak ember lele yang dibagikan untuk masyarakat. Masyarakat pun menyambutnya dengan baik, sehingga jumlah lele yang harus diberi pakan pun terus bertambah,” Tita menerangkan.
Penggunaan pelet lele pabrikan yang harganya relatif mahal membuat Tita harus berpikir dan menemukan alternatif lain untuk pakan lelenya. “Saya mulai memikirkan alternatif pakan yang murah, ramah lingkungan, dan berdampak positif terhadap lingkungan,” jelasnya.

Saat memikirkan tentang pakan lele, di saat bersamaan Tita bersama orang tuanya dan guru pembinanya juga memikirkan tentang permasalahan lingkungan yang ada di sekitar. “Kami memilih maggot sebagai alternatif pakan lele yang dianggap mampu menggantikan pelet lele pabrikan,” terang putri kedua pasangan Achmad Rochidin dan Intias Purwigati ini.
Untuk menunjang makanan lele agar lele cepat tumbuh besar, Callysta Kusuma Azalia menggunakan maggot BSF. Maggot dipilih sebagai pakan lele karena maggot mengandung protein yang tinggi dan baik untuk pertumbuhan hewan ternak seperti ikan, ayam, bebek, bahkan kelinci.
Maggot mempunyai fase larva yang cukup panjang, sehingga mampu menguraikan sampah dengan efektif. “Maggot bisa menguraikan sampah organik mulai dari saat menetas sampai fase pre-puppa. Lamanya waktu maggot menguraikan sampah organik ini bisa sampai 14 hari,” jelas Tita.
Dalam menguraikan sampah organik, maggot juga sangat “rakus”. Maggot bisa menguraikan sampah sampah makanan matang sampai 4 kali berat tubuhnya. “Limbah buah bisa dihabiskan sampai 5 kali berat tubuhnya, sedangkan limbah sayur grebek pasar bisa dihabiskan hingga 6-7 kali berat tubuhnya dalam 1 x 24 jam,” ujar Tita.
Lalat BSF juga relatif tidak menularkan penyakit, karena fase hidup lalatnya yang sangat pendek. “Lalat BSF jantan akan mati setelah kawin, sedangkan lalat BSF betina akan mati setelah bertelur. Karena fase hidup lalat BSF yang relatif pendek ini, menjadikan lalat ini tidak sempat terbang ke tempat yang kotor lalu menularkan penyakit,” kata Tita.
Yang menarik, lalat yang sudah mati ini pun bisa diberikan ke lele dan hewan ternak lainnya sebagai makanan dan masih mengandung protein yang cukup. “Karena kemampuannya menguraikan sampah organik, maggot bisa menjadi solusi bagi masalah sampah organik yang selama ini menjadi masalah yang cukup serius di negeri ini,” Tita menuturkan.
Kebiasaan menimbun makanan, lalu pada akhirnya dibuang sia-sia menjadi salah satu penyebab utama menumpuknya sampah organik yang kadang bercampur dengan jenis sampah yang lain. “Pada akhirnya sampah organik itu banyak yang hanya akan menumpuk di tempat penimbunan akhir sampah,” dia menjelaskan.
Maggot juga cukup mudah untuk dibudidayakan, hanya butuh ketelatenan dan kesabaran agar maggot dapat berkembang biak dengan baik. “Maggot bisa diletakkan di dalam kotak-kotak yang ditempatkan dalam ruangan yang minimal mempunyai 2 arah sirkulasi udara,” kata Tita. Maggot akan keluar dari kotaknya jika terasa panas, lapar, dan kekenyangan. “Kita harus menjaga agar maggot mendapatkan makanan yang cukup,” tambah Tita.
Tita sudah memiliki kandang lalat dan sudah berhasil membudidayakan maggot, sehingga tidak perlu membeli maggot dari luar. “Saya sudah dapat menghasilkan 6500 kg maggot. Setiap harinya, maggot saya sudah mampu menguraikan rata-rata 150 kg sampah organik dalam waktu 24 jam,” tuturnya. (bersambung)
Penulis: Pirno Siswantoro, Tri Wahyuningtyas
Penyunting: Mochamad Zamroni