Kisah Inamura No Hi, Menyelamatkan Masyarakat dari Tsunami
Cerita rakyat berjudul ‘Inamura No Hi’ ini adalah warisan dari nenek moyang masyarakat Jepang dan akan terus diceritakan kembali kepada generasi berikutnya. Inamura No Hi menceritakan tentang sebuah pertistiwa tsunami besar setelah gempa Great Ansei menerjang di tahun 1854. Inamura No Hi berasal dari kata Jepang yang artinya adalah api dari tumpukan jerami.
Ada seorang pria tinggal di bukit dengan sebuah rumah yang menghadap laut di desa sepanjang Pantai Prefektur Wakayama. Suatu malam di musim panas, desa itu mengadakan festival, dan kuil-kuil setempat dipenuhi dengan orang-orang yang merayakannya. Bersemangat untuk pergi ke festival tersebut, pria itu lantas berganti pakaian dengan menggunakan kimononya.
Namun, ketika dia sedang berganti pakaiannya, tiba-tiba dia merasakan bumi berguncang dengan keras. Dia ingat nasihat dari para tetua desa: “Setelah gempa bumi yang panjang datang tsunami.”
Lalu, ia melihat air mengalir deras dan membentuk gelombang menjulang tinggi. “Oh tidak! Tsunami yang mengerikan akan datang!” katanya. Dengan cepat ia membakar obor dan bergegas menuju tempat suci di mana festival itu berlangsung. Ketika dia berlari, dia menyadari bahwa dia tidak akan pernah bisa tiba tepat waktu untuk memperingatkan penduduk desa lainnya. Kemudian ia punya ide cemerlang! Dia membakar tumpukan jerami yang telah dipanen dan menggunakannya sebagai sinyal.
Namun, pria itu tahu kalau tidak benar jika membakar jerami milik orang lain. Jadi dia kembali ke rumahnya dan membakar yang ada di halaman rumahnya. Jerami terbakar dan asap menjulang tinggi. Penduduk desa yang telah larut dalam festival tersebut, tiba-tiba memperhatikannya! Mereka berpikir bahwa terjadi kebakaran, lalu mereka bergegas ke tempat kejadian tersebut untuk memadamkannya. Ketika rekan-rekan desanya tiba, pria itu berteriak, “Tsunami akan datang, pergilah ke atas bukit!”
Semua orang panik dan berlari ke atas bukit. Saat masyarakat pergi ke tempat yang aman, tsunami raksasa melanda desa! Untungnya, semua orang selamat. Para penduduk desa sangat berterima kasih kepada lelaki yang telah mengorbankan jeraminya yang berharga untuk melindungi desa.
Pria itu kemudian bergotong royong dengan penduduk desa untuk membuat tanggul yang panjang dan tinggi sehingga hal seperti itu tidak akan terjadi lagi.
Nah, pria yang diceritakan tersebut adalah Goryo Hamaguchi, seorang pria dari Hirogawa di Prefektur Wakayam, yang mengorbankan harta pribadinya untuk menyelamatkan orang-orang di desanya saat itu.
Pada tahun 2007, Balai Inamura No Hi No Yakata dibangun di Hirogawa untuk meneruskan kisah perbuatan dan semangatnya yang luar biasa, serta pelajaran yang harus disampaikan ke generasi berikutnya. Bukan hanya itu, dari kisah inilah yang melatar belakangi adanya Hari Kesadaran Tsunami setiap tanggal 5 November, yang disampaikan oleh Ardito M. Kodijat (UNESCO), pada acara Launching Buku Ekspedisi Destana (Desa Tangguh Bencana) 2019 di Tempo Institute Jakarta (5/11).
Sumber foto: Public Relation Office Government of Japan
Disampaikan oleh: Ir. Harkunti Pertiwi Rahayu, Ph.D. pada Webinar Seri#122 TunasHijauID “Waspada Ancaman Tsunami” Sabtu (11/3/2023)
Sungguh kebaikan yang bersambut, Goryo Hamaguchi rela mengorbankan harta pribadinya untuk dibakar demi dapat memberikan sinyal yang cepat agar masyarakat bisa selamat dari tsunami…
Sedangkan masyarakat yang melihat sinyal langsung merespon karena ingin menyelamatkan kebakaran yang terjadi…
Sungguh kisah yang indah…
Niat yang baik akan memunculkan kebaikan dan kebaikan berikutnya…
Semoga kisah Goryo Hamaguchi dapat menginspirasi kita semua…
Mari kita memulai semua dengan niat yang baik dan tulus…
Kata-kata bijak mengatakan
Semua amal tergantung pada niatnya…
.
.
.
.
Semoga hidayah untuk kita semua
Mohon maaf apabila ada salah kata
Sungguh Goryo Hamaguchi memiliki pemikiran yang sangat cerdas, disaat situasi yang genting muncul ide untuk membakar jerami miliknya untuk menyelamatkan banyak orang dari tsunami. Semoga masih ada orang yang seperti itu saat ini yang peduli untuk sesamanya.
Kisah yg sangat menarik dan tak bosan untuk membacanya.tapi jika kita yg tinggal di perkotaan yg jauh dari perbukitan bagaimana cara pencegahannya?
Eno wahyu kamagading