Belajar dari Tsunami Aceh 2004 untuk Penyiapan Masyarakat Tangguh Tsunami
Belajar dari para penyintas gempa tsunami Aceh 2004 saat sebelum gempa, saat dan setelah tsunami. Gelombang dahsyat tsunami 26 Desember 2004 silam, Minggu pagi 19 tahun lalu, sebagian besar masyarakat khususnya Aceh Barat sedang sarapan dan tiba-tiba gempa M >9 datang, bumi berguncang, lantai bergetar dan terayun kuat.
Hampir semua orang keluar rumah dan duduk di luar. Setelah gempa, masyarakat menghampiri pantai dan tampak begitu banyak ikan terpapar di tepian pantai dan penduduk berbondong bondong ke laut memungut ikan-ikan segar yang menggelepar di pasir. Bau gas dirasakan para penduduk sangat menyengat. Bau gas ini muncul karena selama ini gas yang mengendap di dasar laut dan terbuka saat air laut surut.

Beberapa menit kemudian, atau sekitar 15 menit, terdengar suara ledakan dari tengah lautan dan gemuruh gelombang lautan berwarna hitam menuju ke daratan. Masyarakat yang mengambil ikan di laut langsung berlarian ke daratan. Gelombang air laut tinggi bagai tembok warna hitam bergerak semakin dekat ke pantai.
Teriakan orang-orang yang terkena dan terseret gelombang terdengar dari berbagai arah. Suara orang-orang histeris semakin banyak dan banyak bangunan, rumah rumah roboh rata dengan tanah.
Banyak orang berlarian menuju bukit yang terdekat dan tidak mudah mencapai bukit dalam waktu bersamaan. Banyak hambatan menuju ke bukit diantaranya melewati sungai. Ada jembatan dari batang kayu dan harus satu per satu.

Ada 2 masjid di Aceh yang sangat terkenal karena tetap bertahan dari terjangan tsunami 2004 yaitu Masjid Raya Baiturrahman dan Masjid Rahmatullah. Masjid Raya Baiturrahman terletak di pusat Kota Banda Aceh dan menjadi ikon Serambi Makkah.
Saat itu, saat tsunami 2004, bangunan masjidnya pun tak hancur dihempas gelombang tsunami walau bangunan sekitarnya rata dengan tanah. Masjid ini menjadi tempat puluhan ribu orang mengungsi di lantai 2 dan selamatlah mereka dari terjangan tsunami. Tanpa keberadaan Masjid Raya Baiturrahman, tidak terbayang bagaimana para korban bencana harus mengungsi.
Masjid ke 2, Masjid Rahmatullah di Pantai Lampuuk Lhoknga. Foto satelit Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) di atas Lhoknga ada penampakan bangunan utuh berbentuk melingkar berwarna putih.

Itu adalah sebuah masjid yang selamat dan berdiri kokoh di tengah segala kehancuran yaitu Masjid Rahmatullah Lhoknga, satu-satunya bangunan tersisa dari terjangan tsunami Aceh 2004.
Masjid berada 500 meter dari bibir pantai ini menjadi satu-satunya bangunan yang tersisa. Meskipun beberapa sisi bangunan masjid rusak, sebagian besar tetap utuh dan selamat.
Kekuatan gelombang tsunami sangat besar karena mampu menyeret kapal PLTD Apung dengan panjang 63 meter dan berat 2.600 ton terseret hingga 3 kilometer ke pusat kota Banda Aceh yang sebelumnya berada di laut, tepatnya di pelabuhan penyeberangan Ulee Lheue.
Hingga saat ini kapal berlokasi di Desa Punge Blang Cut, Banda Aceh. Pemerintah Aceh menyulap kapal tersebut menjadi Museum PLTD Apung sebagai tempat wisata bertujuan agar generasi selanjutnya dapat menyaksikan efek dahsyat yang ditimbulkan oleh kejadian tersebut dan pengingat sejarah bencana yang pernah terjadi.
Bagian dalam kapal PLTD Apung difungsikan sebagai museum edukasi tentang mitigasi bencana yang diisi dengan berbagai informasi dalam berbentuk video ilustrasi tentang proses terdamparnya kapal PLTD Apung. Dulunya Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung ini memiliki mesin pembangkit listrik yang kekuatan dayanya mencapai 10,5 megawatt.
Penyiapan Masyarakat Tangguh Tsunami
Tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004 merupakan bencana yang tidak boleh dilupakan oleh masyarakat Aceh dan masyarakat Indonesia. Sebab, sebagian besar wilayah Indonesia rawan Tsunami dan hampir semua wilayah tersebut pernah diterjang tsunami.
Oleh karenanya, penyiapan masyarakat yang tangguh menghadapi bencana tsunami mutlak diperlukan. Tiap individu-individu di satu wilayah telah mengetahui dan memahami potensi-potensi bencana di daerahnya, membentuk masyarakat tangguh tsunami di tingkat RT bisa menjadi target berikutnya.

Hal ini untuk memastikan agar setiap warga bisa terkoordinasi, baik dengan anggota RT yang lain maupun dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan bencana tsunami seperti BNPB, BPBD, BMKG, PMI, maupun perguruan tinggi, dan tahu apa yang harus dilakukan bila kondisi darurat terjadi.
Langkah-langkah tersebut menjadi penting, terutama bila menilik hasil survey yang dilakukan pada masyarakat di Kobe, Jepang yang selamat dari peristiwa gempa pada 1995 lalu. Nampak bahwa 35% korban selamat umumnya melakukan penyalamatan secara mandiri atau bergantung pada diri sendiri, disusul 32% akibat pertolongan keluarga, 28% dengan bantuan tetangga, dan sisanya berkat pertolongan dari luar seperti BPBD, SAR, PMI, dll.
Belajar kejadian bencana tsunami di masa lampau dan belajar dari bencana serupa di tempat lain tentu bisa menjadi langkah awal yang penting dalam membangun masyarakat Tangguh. Saksi mata saat terjadi tsunami di Banyuwangi tahun 1994 mengatakan bahwa saat terjadi tsunami beberapa orang mendengar suara gemuruh seperti suara helikopter dan truk penuh material lewat.
Demikian juga saat laut surut bisa tercium bau belerang yang menyengat, hal ini terjadi karena endapan belereng di dasar laut terkelupas saat laut surut. Bisa juga muncul ledakan saat endapan methan di dasar laut bersentuhan dengan udara bebas akan meledak dan menimbulkan bola api.
Selain upaya jangka pendek, persiapan jangka panjang juga mutlak diperlukan. Salah satunya melalui pendidikan kebencanan bagi para pelajar. Dimana, dalam pendidikan tersebut, mereka akan mengenalkan dan dibangun pemahamannya terkait berbagai macam bencana.
Tujuannya, agar mereka tahu apa yang harus mereka lakukan agar bisa selamat bila bencana sewaktu-waktu terjadi. Bila kesadaran dan pengetahuan ini terbentuk sejak awal, bukan tak mungkin mereka juga bisa menyelamatkan banyak orang seperti halnya yang telah dilakukan oleh Tilly Smith, seorang anak perempuan berumur 10 tahun yang telah menyelamatkan banyak nyawa saat terjadi Tsunami pada 26 Desember 2004 lalu.
Keberhasilan masyarakat Pulau Simelue Aceh yang sudah lama mengembangkan sistem deteksi dini berbasis kearifan lokal yang mereka sebut SMONG. Istilah SMONG telah ada sejak tahun 1900.
Kearifan lokal yang diceritakan secara turun-temurun hingga melekat dan membudaya. SMONG ini mengajarkan agar semua orang agar segera berlari menuju ke bukit apabila melihat air laut tiba-tiba surut.
Berkat teriakan SMONG inilah hampir seluruh masyarakat Pulau Simelue selamat dari amukan bencana tsunami pada 26 Desember 2004 lalu. Padahal, secara geografis letak pulau ini sangat dekat dengan pusat gempa saat itu.
Foto utama: Kapal di atas rumah yang menjadi saksi dahsyatnya tsunami Aceh 2004
Penulis: Amien Widodo
Terimakasih Bapak Amien widodo beserta Kakak Tunas Hijau ID atas banyaknya artikel yang dimuat untuk mengedukasi masyarakat luas…
Ketika ilmu sampai ke masyarakat, tentu akan membuat masyarakat menjadi lebih peka terhadap tanda-tanda yang alam perlihatkan sebelum bencana benar-benar datang menerjang serta membuat masyarakat lebih siap siaga…
Disisi lain dengan adanya kejadian di masa lalu juga menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa kita harus bertawakal yaitu berikhtiar dengan keilmuan (pengetahuan) dan berikhtiar sekuat tenaga (lari sekencang-kencangnya) menuju ke tempat yang lebih aman, dan juga terus berdoa penuh harap kepada Tuhan yang menciptakan seluruh yang ada di dunia ini, karena ditangan Dia lah seluruh kuasa dan kendali…
Dua masjid itu menjadi buktinya…
Mungkin secara teknis karena bangunan berongga, tapi bukankah bangunan tersebut juga mendapat hantaman dari sisi-sisinya? dan tentunya berpotensi terkena hal yang sama dengan bangunan lain di sekelilingnya yang disana juga banyak yang berongga, misalnya pagar, teras dll.
Itulah tanda-tanda kebesaran Tuhan, yang kita harus bersyukur karena telah mendapatkan hidayah untuk meyakininya dengan keyakinan yang kuat…
Terimakasih atas kesempatan menuliskan komentar di sini…
Mohon maaf jika kurang berkenan…
Semoga hidayah dan taufiq untuk kita semua…
Salam,