Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM): Gerakan Menuju Hidup Sehat dan Bermartabat
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) merupakan pendekatan yang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia untuk mendorong perubahan perilaku higienis dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat. Program ini bukan sekadar proyek pembangunan fisik, tetapi lebih menekankan pada perubahan perilaku yang berkelanjutan dari seluruh elemen masyarakat.
STBM memiliki lima pilar utama, yaitu: (1) Stop Buang Air Besar Sembarangan, (2) Cuci Tangan Pakai Sabun, (3) Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga, (4) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga, dan (5) Pengelolaan Limbah Cair Rumah Tangga. Kelima pilar ini saling berkaitan dan mendukung satu sama lain dalam menciptakan lingkungan yang sehat.
Pilar pertama, yaitu Stop Buang Air Besar Sembarangan, menjadi pondasi utama STBM. Ketika masyarakat memiliki akses terhadap jamban yang layak dan berhenti buang air besar sembarangan, maka penyebaran penyakit yang ditularkan melalui kotoran manusia dapat ditekan secara signifikan.
Pilar kedua menekankan pentingnya mencuci tangan pakai sabun di lima waktu penting: sebelum makan, sebelum menyiapkan makanan, setelah buang air besar, setelah membersihkan anak yang buang air, dan setelah memegang hewan atau benda kotor. Kebiasaan ini terbukti sangat efektif mencegah penyakit menular seperti diare dan infeksi saluran pernapasan.

Pilar ketiga fokus pada pengelolaan air minum dan makanan agar terhindar dari pencemaran. Masyarakat diajak untuk memastikan air yang dikonsumsi sudah dimasak atau disaring, serta makanan disimpan dan disajikan dengan bersih.
Pilar keempat yaitu pengelolaan sampah rumah tangga. Masyarakat diajak untuk memilah sampah organik dan anorganik, mengolah sampah organik menjadi kompos, serta mendaur ulang sampah anorganik untuk mengurangi timbunan sampah.
Pilar kelima, pengelolaan limbah cair rumah tangga, menargetkan agar limbah cucian dan dapur tidak dibuang sembarangan ke lingkungan. Sistem resapan sederhana seperti sumur resapan atau biofilter sangat dianjurkan untuk mengurangi pencemaran tanah dan air.
STBM juga menekankan partisipasi aktif masyarakat. Keberhasilan program ini sangat bergantung pada keterlibatan semua lapisan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Pemerintah daerah, tokoh masyarakat, sekolah, dan kelompok perempuan memiliki peran penting dalam mendorong perubahan perilaku.

Pendekatan STBM terbukti mampu menurunkan angka penyakit berbasis lingkungan seperti diare, stunting, dan infeksi saluran pernapasan. Lebih dari itu, STBM juga membangun kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan demi kesehatan generasi masa depan.
Meski demikian, tantangan masih ada. Kurangnya akses terhadap infrastruktur sanitasi, budaya lokal yang sulit diubah, dan rendahnya pengetahuan tentang perilaku hidup bersih menjadi kendala utama. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan komunikasi yang tepat, edukasi berkelanjutan, serta dukungan lintas sektor.
Dengan semangat gotong royong dan kepedulian terhadap lingkungan, STBM bisa menjadi gerakan nasional yang mengakar kuat di masyarakat. Jika setiap keluarga menerapkan lima pilar STBM, maka kualitas hidup masyarakat Indonesia akan meningkat secara signifikan.
Sanitasi bukan hanya soal fasilitas, tetapi tentang martabat. Melalui STBM, kita diajak untuk menjaga kesehatan diri, keluarga, dan lingkungan sebagai bentuk penghormatan terhadap kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan.
Mewujudkan STBM di wilayah perkotaan memiliki tantangan tersendiri. Kepadatan penduduk yang tinggi, keterbatasan lahan untuk pembangunan jamban atau pengelolaan limbah, serta tingkat mobilitas masyarakat yang tinggi sering kali menjadi hambatan. Di banyak permukiman padat dan kawasan kumuh, ruang untuk membangun fasilitas sanitasi layak sangat terbatas, sehingga praktik buang air besar sembarangan atau pembuangan limbah sembarangan masih terjadi.
Selain itu, masyarakat perkotaan cenderung memiliki gaya hidup yang cepat dan individualistik, sehingga sulit menggalang partisipasi kolektif untuk perubahan perilaku. Kegiatan edukasi dan sosialisasi STBM pun sering kali tidak maksimal karena warga sibuk dengan rutinitas kerja. Dibutuhkan pendekatan yang kreatif dan fleksibel, misalnya melalui kampanye digital atau kolaborasi dengan komunitas lokal, agar pesan-pesan STBM bisa tersampaikan dengan efektif.
Tantangan Mewujudkannya
Sementara itu, tantangan di pedesaan umumnya terkait dengan rendahnya akses terhadap informasi, pendidikan, dan infrastruktur dasar. Banyak masyarakat desa yang belum menyadari pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat, sehingga buang air besar sembarangan atau membuang limbah ke sungai masih dianggap biasa. Ketiadaan sarana sanitasi dan air bersih juga menjadi kendala utama di beberapa wilayah terpencil.
Kondisi geografis yang sulit dijangkau membuat program STBM di desa kadang berjalan lambat. Distribusi bahan bangunan untuk membuat jamban atau sistem pengolahan limbah sering terkendala transportasi dan biaya. Di sisi lain, tenaga pendamping masyarakat juga terbatas, sehingga edukasi dan pendampingan perilaku sanitasi tidak merata.
Namun di balik tantangan tersebut, masyarakat desa memiliki potensi besar dalam mewujudkan STBM karena budaya gotong royong yang masih kuat. Jika pendekatan dilakukan dengan cara yang sesuai konteks lokal, dan melibatkan tokoh masyarakat serta perangkat desa, maka perubahan bisa berjalan lebih cepat dan berkelanjutan.
Oleh karena itu, strategi STBM harus disesuaikan dengan karakteristik wilayah. Di kota, pendekatannya bisa berbasis teknologi dan kolaborasi lintas sektor, sementara di desa, pendekatan berbasis komunitas dan kearifan lokal lebih efektif. Dengan memahami tantangan di masing-masing wilayah, implementasi STBM bisa menjadi lebih inklusif dan berdampak nyata bagi seluruh lapisan masyarakat.
Upaya Pemerintah Menggelorakannya
Pemerintah pusat, melalui Kementerian Kesehatan RI, terus mendorong implementasi STBM secara nasional dengan menetapkan target universal akses sanitasi layak. Program STBM dimasukkan ke dalam agenda prioritas pembangunan kesehatan dan selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Selain itu, pemerintah juga menyusun regulasi dan panduan teknis yang menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam merancang program sanitasi berbasis masyarakat.
Untuk mempercepat pencapaian lima pilar STBM, pemerintah pusat memberikan dukungan berupa pelatihan kader, bantuan teknis, serta fasilitasi advokasi lintas sektor. Program Kemitraan Sanitasi (Sanitation Partnership) dibentuk untuk menjalin kolaborasi antara pemerintah daerah, LSM, dunia usaha, dan lembaga donor agar gerakan STBM bisa didukung dari berbagai arah. Pemerintah juga menggelar kampanye nasional seperti Hari Cuci Tangan Pakai Sabun dan Bulan Sanitasi, guna meningkatkan kesadaran publik secara luas.
Tak hanya itu, sistem pemantauan dan penghargaan juga diterapkan untuk mendorong kinerja daerah. Kabupaten dan kota yang berhasil menerapkan lima pilar STBM secara menyeluruh akan diberikan penghargaan STBM Award sebagai bentuk apresiasi. Langkah ini terbukti mendorong kompetisi positif antar daerah dan memperkuat komitmen kepala daerah untuk menjadikan sanitasi sebagai prioritas pembangunan daerah masing-masing. (Mochamad Zamroni)